Ada Rasa, Di balik Keanehan Fajar

98 5 2
                                    

Matahari masih sepenggal naik, ketika tiga remaja bersarung itu berlarian menuju belakang sekolah. Kedatangan mereka disambut oleh halaman luas yang ditumbuhi rindangnya pepohonan jati dan mangga. Ketiganya terlihat semringah dan sekarang berjalan lebih santai, menapak di tanah lembap yang kebanyakan tertutupi oleh dedaunan gugur.

Remaja yang berpostur tinggi terlihat paling antusias, mengedarkan pandangannya ke segala arah, dan kemudian berbinar ketika dia berhasil menemukan kursi kayu panjang di bawah pohon mangga yang gagah.

"Hey, kita duduk di sana, oke," ucap remaja bernama Fajar, sembari menabok pelan pundak kedua orang yang berjalan di sampingnya. Fajar mempercepat langkahnya, memimpin.

"Haduh, akhirnya," pekik Esuk yang berbadan tambun saat berhasil duduk. "Lega banget deh!"

"Heh, bisa direm gak, volume suaranya?" bentak si kurus, Enjang. Membuat Esuk memberengut. Sejenak, keheningan melingkupi ketiganya, menyisakn simfoni indah cericit burung, yang sibuk beterbangan di atas mereka.

"Jar, kamu tadi bosan gak, pas Pak Kyai menjelaskan makna kitab kuning?" tanya Esuk retoris, mematahkan diam di antara mereka.

Fajar hanya tersenyum tipia mendengarnya. Dia lebih dari tahu, bahwa dia dan kedua sahabatnya bukanlah golongan mereka, yang serius dalam belajar. Tapi dia juga paham prinsip mereka, untuk selalu meluhurkan ilmu, guru, dan kyai.

"Sampeyan paham nggak, dengan yang dijelaskan Pak Kyai?" tambah Enjang dengan nada tinggi.

"Kenapa kamu mendadak kebelet pipis, saat giliranmu membaca? Dan sekarang rasa kebelet itu pun sirna," sahut Fajar, yang kenyataanya sedang menceritakan keadaan dirinya sendiri saat di kelas tadi.

"Sumpah! Kalau tidak sedang di hadapan Pak Kyai, aku udah pengen cepet keluar kelas brr---"

"Hussh! nggak pantes ngomong gitu Esuk," potong Enjang. "Meski aku juga merasakan hal yang sama sih, alergi belajar."

Wakakaka .... Pecah tawa mereka, mengakhiri obrolan gak jelas pun gak nyambung barusan. Ya, obrolan tadi bagaikan mantra yang selalu didengungkan mereka, tatkala sedang melepas penat dan bosan, seusai belajar.

Enjang bangkit dari bangkunya, ngeloyor menuju jalan setapak yang terletak tak jauh dari keberadaannya.

"Jang, mau kemana?" tanya Esuk.

"Aku mau cari jambu di kebun tetangga. Mau ikut?"

"Gak!" teriak Esuk. "Gak bisa nolak." Remaja tambun itu bahkan sudah kabur mengekori Enjang.

Fajar terkekeh pelan, kemudian melangkah mengikuti jejak kedua sahabatnya, yang sudah jauh di depan. Fajar nampak senang, merasa nyaman ketika bisa berbaur dengan alam yang menghidangkan kehijauan, sejauh mata memandang. Jauh di palung hatinya, bahkan ia lebih menyukai hutan, pesantren, dan sahabatnya, daripada kehidupan ingar bingar perkotaan, di mana rumahnya berada.

Langkah Fajar terhenti, ketika tanpa sengaja pandangannya berserobok dengan seorang gadis di kejauhan. Yang tengah berdiri memandangi surya dan pepohonan, searah dengan tempat Fajar tengah berada. Remaja itu mendadak kaku, menelan saliva untuk membahasi tenggorokannya yang mengering. Gadis bermukena tadi memang hanya tersenyum dan mengangguk singkat ke arahnya, sebelum benar-benar pergi, mungkin sholat dluha di musholla puteri.

'Siapa dia?' Fajar membatin. Berkali-kali meyakinkan bahwa penglihatan barusan bukanlah sekadar penampakan. Fajar memberosotkan tubuhnya dan duduk menjeplak di sisi jalan. Menopang dagu, memutar ulang adegan singkat perjumpaan, atau tepatnya pandangan pertamanya dengan gadis cantik tadi.

"Woi!" teriak Enjang, sambil mendorong Fajar hingga membuatnya terjungkal.

"Astaghfirullah," ucap Fajar lirih.

"Kenapa sampeyan, hah?"

"Tidak. Hanya lelah, makanya gak jadi ikutan mencuri jambu," jawab Fajar.

"Ralat! Aku tadi mencari jambu, bukan mencuri, tau! Mau?" Enjang menyodorkan sebentar, jambu bekas gigitannya, lalu melahapnya lagi.

"Gak. Hmm ... tadi kamu lihat gadis di sana, nggak?" tanya Fajar yang menunjuk ke posisi gadis tadi berada.

Uhukuhuk ... Enjang tersedak. Kunyahan jambu  di mulutnya tersembur ke arah sahabat di sampingnya, lalu tertawa keras. 

Ck! Fajar memberengut kesal, saat mengelap mukanya yang belepotan tersiram hujan lokal. Lalu, beranjak pergi.

"Hey! Putera Fajar! Gadis tadi bernama puteri senja, dia puteri bungsu Pak Kyai kita," teriak Enjang yang membuat Fajar menoleh ke arahnya, melongo, dan menghentikan langkahnya.

Demi menyaksikan wajah cengo Fajar, tawa Enjang kembali menggelegar. Membuat Fajar sadar, dan pergi lagi menuju kelas. Senyum Enjang tak henti terkembang, memikirkan bahwa sahabatnya yang tinggi dan rupawan itu, mungkin saat ini sedang kasmaran.

"Jang! Sampeyan kenapa senyum-senyum sendiri? Kesambet apaan?" tanya Esuk saat mendekati Enjang. Di dekapannya terlihat jambu-jambu besar, hasil ekspedisinya tadi. "Mana Fajar? Kenapa dia gak ikut, tadi?"

Enjang tak menanggapi suara cempreng dari cecunguk di hadapannya, lebih memilih melangkah menuju kelas, sebagimana yang dilakukan Fajar. 'Toh, habis ini jadwalnya baca kitab kuning lagi.' batinnya.

©©©©

Di kelas, Fajar memilih bangku terdepan, yang berhadapan langsung dengan kyai. Memasang posisi tegak, membaca serius tulisan arab di buku kuningnya. Berbanding terbalik dengan Enjang dan Esuk, yang malah memilih duduk layu, di bangku belakang.

Pak kyai yang mulai sepuh itu, membuka suara, "Assalamualaikum, para santri. Kita lanjutkan pelajaran memaknai kitab kuningnya."

"Nggeh, Pak Kyai," jawab ketiganya serempak.

Pak kyai mulai membaca, memaknai, serta menjelaskan suatu bab di dalam kitab kuning. Sebenarnya bukan membaca, karena bahkan pak kyai sudah hapal sampai ngapal di luar kepala, semua itu. Makanya, sistem belajar yang diterapkannya adalah menghapal. Semua santri harus mendengarkan, menyimak, kemudian merapalkannya berulang-ulang di dalam hati, dan terakhir, bergantian setoran membaca kitab kuning.

"Baik Nak, cukup. Sekarang giliran kalian yang menjelaskan, dan saya akan menyimak," ujar pak kyai mengakhiri sesi mengajarnya. Pandangannya menyapu seluruh santrinya, satu per satu. "Esuk, kamu duluan Nak!"

Si empunya nama tergeragap. "Eh, saya Pak Kyai?" tanya Esuk lemah. Badanya terasa lemas, efek dari kegugupan yang tak bisa dicegahnya. Esuk mencoba membaca kitab di tangannya, tapi ... "Anu Pak Kyai, saya ndak bisa. Eh, belum bissa. Hm, bagaimana kalau Fajar duluan? Biar saya bisa persiapan terlebih dahulu." jelas Esuk.

Enjang yqng duduk di samping Esuk, merasa lega. Karena terselamatkan dari tugas Membaca  kitab kuning.

"Baiklah, Fajar dulu Nak!" perintah pak kyai.

Fajar yang biasanya akan belingsatan mencari alasan menolak, kini hanya mematuhi perintah pak kyai. Dia mulai membaca, dan bisa, meski dengan terbata-bata.

'Bagaimana mungkin, dengan kapasitas kecerdasan otak yang sama dangkalnya, dan intensitas lamanya belajar yang sama, kok Fajar bisa? Aku ....' batin Esuk pedih. Bukan dengki, melainkan semuanya laksana dalam mimpi.

Pak Kyai hanya tersenyum memandangi salah satu dari ketiga santri badungnya itu. Ternyata, masa hukuman---tidak diperbolehkan pulang saat liburan, karena jumlah skor pelanggaran mencapai jumlah maksimal. Dikarenakan tidur, berbuat kegaduhan, dan melancong (menghilang) saat sekolah atau mengaji---yang diberikan kepada ketiganya adalah tindakan yang benar. Kelas yang hanya berisi tiga santri dan kyai-nya itu, nampak bersinar dengan cahaya kedamaian.

JUDUL                   : Ada Rasa, dibalik Keanehan Fajar
NAMA PENULIS   : Defi Permatasari
NAMA WATTPAD : Permataaksara
TITI MANGSA       : Sabtu, 13 Oktober 2018

Kumpulan Cerpen MemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang