BAB III. 2 Hari Yang Dinantikan

86 4 0
                                    

Begitu pekerjaannya di kantor selesai Erza langsung pulang. Ia ingin melihat langsung kondisi Khanza. Sudah sejak tadi fikiran selalu tertuju pada Khanza, hanya saja ia terpaksa harus menahan rasa rindu dan khawatirnya, karena pekerjaan yang harus ia selesaikan.

Setelah Erza memarkirkan mobilnya dihalaman rumahnya. Ia berbegas kerumah Khanza. Bahkan tak butuh waktu hingga satu menit hingga ia tiba dirumah yang dituju. Ia membuka pintu gerbang dan lanvsung masuk kedalamnya. Mengetuk pintu beberapa kali, hingga akhirnya pintu terbuka.

"Sore Ma." Sapa Erza begitu melihat Lia yang membukakan pintu untuknya.

"Ayo masuk, kamu udah pulang kerja?" Erza mengikuti mertuanya memasuki rumah.

"Iya ma, aku mau liat kondisi Khanza."

"Yaudah kamu langsung kekamarnya aja."

Erza mempercepat langkahnya, menuju lantai dua. Ia tidak sabar untuk melihat wajah istrinya. Sudah beberapa hari ini ia tidak bertemu langsung dengan Khanza. Senyumnya terus mengembang membuatnya terlihat semakin tampan. Ia menghentikan langkah kakinya begitu tiba didepan kamar Khanza. Entah mengapa jantungnya berdetak semakin cepat. Ia menghembuskan nafasnya berusaha menenangkan hatinya. Namun tidak berhasil.

Erza mengetuk pintu kamar Khanza dua kali, sebelum akhirnya terdengar suara Khanza mempersihlakan masuk.

"Hai, my wife." Sapa Erza begitu membuka pintu kamar Khanza.

"Iih, aneh banget deh dengernya, apa lagi lo yang ngomong." Khanza yang sedang memeriksa beberapa laporan yang dikirim ke E-mailnya. Mengalihkan pandanganya dari laptopnya dan memasang wajah jijik. Walaupun sedang sakit, ia tetap saja harus menyelesaikan pekerjaannya.

"Hahaha, tapi kan sekarang lo emang istri gue." Erza melangkah menuju tempat tidur Khanza. Dimana sang empunya, sedang sibuk duduk disana dengab laptop didepannya.

"Ya, lo benar." Ucap Khanza sambil menganghuk menatap laptopnya.

"My wife rajin banget, lagi sakit tetap kerja." Ucap Erza yang kini sudah berbaring didepan Khanza.

Khanza memelotoi pria yang mengaku sebagai suaminya itu. "Za gue nggak suka dipanggil begitu." Tegasnya.

"Tapi gue suka, anggap aja panggilan sayang." Ucap Erza santai.

Khanza memasang wajah mual dan pura-pura muntah.

"Tuh kan lo masih sakit, mendingan istirahat aja dulu." Ucapnya.

"Gue mau muntah karena denger ucapan lo, bukan karena gue sakit. Udah ah jangan gangguin gue kerja." Protes Khanza.

Erza merasa lega setelah melihat langsung kondisi Khanza yang ternyata juga sudah membaik. Biasanya saat asam lambungnya kambuh cukup parah, ia pasti hanya akan diam berbaring diatas tempat tidur karena kesakitan. Tapi saat ini Khanza bahkan bisa bekerja dan menyahuti ucapan Erza, tandanya ia baik-baik saja.

Untuk beberapa saat Erza hanya diam menatap Khanza yang sedang fokus dengan laptopnya. Jantungnya tetap tidak mau berdetak dengan tenang, terlebih saat ini ketika jarak mereka cukup dekat.

"Khan."

"Hmm."

"Nggak ada yang mau lo omongin atau tanyain sama gue?"

Khanza menoleh menatap wajah serius Erza, lalu kembali menatap laptopnya. Tak ada suara yang keluar dari mulut keduanya untuk beberapa saat. Khanza masih terlihat sangat sibuk dengan laptopnya. Hingga akhirnya mengakhiri kegiatannya di depan laptop dan menutup laptopnya. Ia meletakannya di atas nakas disamping tempat tidurnya. Lalu memposisikan tubuhnya menghadap Erza. Mata mereka saling bertatapan untuk beberapa saat dalam diam. Seolah mereka sedang saling mencari sesuatu didalam sana.

Still You Are My LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang