5. Pertemuan Ketiga

242 50 24
                                        

  "Orang bilang pertemuan pertama itu kebetulan, pertemuan kedua itu kepastian, dan yang ketiga adalah takdir."

  "Enggak usah percaya kata orang. Kalau kata gue, pertemuan pertama sampai ketiga kita ini emang cuma kebetulan."  

















Gue enggak tahu harus berbuat apa lagi. Katakan gue anak yang brengsek karena enggak pernah menghormati ayahnya sendiri. Tapi apa boleh buat? Gue akui gue memang masih terlalu egois. Gue enggak mau menanggung malu karena punya ayah mantan narapidana. Gue bahkan menyembunyikan identitas ayah gue ke teman-teman gue saat gue sekolah, karena—siapa yang enggak kenal Erlan Hadiono? Musisi terkenal pada masanya yang terjerat kasus narkoba dan perselingkuhan.

Gue bahkan mengganti nama belakang gue yang seharusnya Hadiputri. Gue akhirnya menggunakan Wijaya, sama kayak nama belakang Mami. Begitu juga Fajar yang seharusnya bernama belakang Hadiputra. Mami yang ganti. Karena waktu itu Mami juga sangat-sangat kecewa dengan apa yang dilakukan Papi. Gue enggak mau, kejadian-kejadian buruk itu terulang lagi menimpa keluarga gue.

Kalau perlu gue ceritakan, Mami sudah pernah memaafkan Papi karena satu kesalahan yang sama—perselingkuhan. Waktu Mami lagi berjuang melahirkan gue, laki-laki tua itu malah asik dengan perempuan lain. Itulah kenapa gue juga enggak mau dipanggil Senja. Karena gue dilahirkan saat Senja, dan Mami sedang menanggung beban yang sangat berat saat melahirkan gue.

Well, mungkin bisa dikatakan hari ini merupakan satu dari milyaran hari sial gue selama bernapas di bumi.

To be very very honest, gue enggak tahu gimana caranya balik ke Jakarta. Menurut hasil pencarian gue, gue bisa kembali ke Jakarta naik kereta dari Stasiun Bandung. Dan gue sudah sampai di sini sejak satu jam yang lalu. Dan sekarang gue cuma duduk di area stasiun, bingung, kayak anak ilang, karena ketika gue mau beli tiket, katanya tiket kereta ke Jakarta untuk hari ini sudah habis karena kebanyakan penumpang memesan tiket secara online. Dan catat, sedang musim liburan, katanya.

Oh, shit. Dan gue enggak tahu sekarang mau ke mana. Baterai ponsel gue mulai low. Gue di kota orang, sendirian, bingung, bawa-bawa koper gede kayak habis diusir dari rumah.

Gue menarik napas sedalam mungkin, mencoba menenangkan diri. Untuk kali ini mungkin gue bisa menenangkan diri sejenak tanpa gangguan Papi ataupun Fajar. Jadi gue berjalan ke luar area stasiun yang mana dipenuhi oleh kondektur-kondektur angkutan umum dan penjual asongan yang beberapa jelas-jelas menggoda gue. Tapi gue enggak peduli. Gue terus berjalan—entah ke mana—sampai gue mendengar suatu keributan yang gue rasa tidak perlu, dari sebuah rumah makan di pinggir jalan.

Gue mengernyit ketika si pemilik rumah makan berlari keluar dan melempar sandal ke arah seekor kucing yang membawa dua ikan goreng di mulutnya.

Gue tersentak dan otomatis meninggalkan koper gue tergeletak di jalan dan berlari ke arah kucing jalanan itu yang terus meraung-raung ketika si pemilik rumah makan hampir melemparinya lagi dengan sandal yang satunya.

Gue sudah lebih dulu menarik kucing itu ke gendongan gue.

"Bisa nggak, sih, nggak usah kasar-kasar sama kucing?!" bentak gue refleks, pada si ibu-ibu tambun pemilik rumah makan. Ibu itu nampak bersungut-sungut, tapi ya bodo amat?

"Kamu nggak usah ikut-ikutan! Kucing itu nyolong ikan di rumah makan saya!"

Gue mendengus. "Terus dengan ibu nyiksa kucing ini, ikannya bakal ibu ambil lagi dan ibu kasih ke pelanggan ibu?" tanya gue sarkastik, yang dibalas tatapan tidak suka oleh si ibu. Orang-orang di sekeliling gue memperhatikan perdebatan enggak penting kita.

Dialog SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang