2. Nuga

328 48 13
                                    

Sekarang jam delapan lewat dua puluh menit. Gue melarikan diri dari rumah si tua itu. Untungnya, mereka masih asik aja ngobrol di meja makan. Bahkan sampai nggak sadar kalau gue diam-diam keluar melewati mereka.

Dan di sinilah gue sekarang. Di dalam mobil grab yang untungnya, ada yang mau mengangkut gue dari tempat terpencil ini.

Tujuan gue? Kelab malam terdekat.

Iya, setelah tadi gue uring-uringan nggak jelas, gue tiba-tiba rindu dunia malam gue, jadi gue memutuskan untuk mencari kelab malam terdekat dengan daerah sini. Dan ternyata, jaraknya lima belas kilometer dari rumah Papi.

Hmm. Lumayan. Jauh.

Tapi demi menghilangkan mood buruk gue, tentu perlu ada pengorbanan. Nggak peduli mau sejauh apapun.

Ah, ya. Kalau perlu gue ceritakan sedikit, cewek bernama Senja Kinara Wijaya putri sulung dari Adira Wijaya ini sudah akrab dengan dunia malam semenjak kelas tiga SMP. Dulu, Kinara adalah gadis kecil yang lugu dan polos. Namun mulai memberontak ketika mengetahui hal busuk yang dilakukan Erlan Hadiono, selaku ayahnya pada masa itu.

Dan Kinara yang lugu dan polos itu sepenuhnya hilang ketika gue mengenal seseorang yang mengenalkan gue pada sisi gelap dunia para remaja. Rokok, minuman keras, kelab malam, bahkan seks bebas. Dan itu terjadi ketika gue baru menginjak kelas tiga SMP. Kemudian, entah bisa gue bilang beruntung atau tidak, Mami akhirnya tau tentang itu. Sekolah gue akhirnya pindah. Dan gue otomatis berpisah dengan orang yang mengenalkan gue pada dunia gelap itu.

Tapi setelah itu, gue tidak benar-benar berpisah dengan dunia gelap yang dipandang buruk oleh kebanyakan orang. Gue masih sering berinteraksi dengan batangan nikotin, dan menjajal kelab-kelab malam di Jakarta.









Suara klakson yang saling bersahutan dan decakan pria yang duduk di balik kemudi tiba-tiba saja membuat gue tersadar kalau gue baru saja tertidur.

"Ck. Gini nih emang Bandung mah kalo udah deket-deket kota macetnya nggak ketulungan." Keluh si abang grab sambil memukul pelan kemudinya.

Gue mengerjap-ngerjap. Masih mencerna apa yang sedang terjadi.

"Kayaknya di depan lagi ada konser musik tuh. Neng saya turunin di sini aja ya? Macet soalnya nggak bisa jalan."

Gue sontak melebarkan mata. "Loh, Bang? Emang udah nyampe tujuan?"

"Udah deket. Neng tinggal jalan aja tuh ke depan," sahut si Abang sambil menunjuk ke arah depan. Entah ke arah mana. Yang jelas, gue yang masih setengah sadar ini nurut aja.

"Yaudah deh, saya turun di sini aja," tanpa pikir panjang, gue mengeluarkan lembaran rupiah dari dalam dompet dan menyerahkannya pada si Abang grab. Setelah itu turun dari mobil dengan keadaan masih sempoyongan.

Gue berdiri di atas trotoar, memperhatikan kendaraan di depan gue yang amat sangat padat. Beralih ke depan sedikit, ada sebuah panggung dan kerumunan orang.

Oh, benar kata abang tadi. Lagi ada konser musik.

Awalnya, gue nggak berniat untuk nonton konser musik sama sekali. Gue berjalan ke depan untuk menuju ke kelab yang gue maksud. Tapi langkah gue terhenti saat mendengar lagu Sheila On 7 mengalun dari panggung musik.

"....anugerah terindah yang pernah kumiliki..."

Dan, selesai.

Oh, sial.

Padahal, gue baru saja berhasil menerobos kerumunan orang sampai ke tengah-tengah ketika lirik terakhir dari lagu band favorit gue dinyanyikan.

Jujur aja, walaupun gue punya trauma dengan musik, tapi lagu-lagu Sheila On 7 yang sering gue dengar saat gue masih SD, masih melekat di ingatan gue dan entah kenapa, gue nggak pernah bisa membencinya.

Dialog SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang