9. Radio

130 16 5
                                    

Senja telah hilang sepenuhnya. Tersapu oleh pekat hitam langit malam yang gelap tanpa bintang. Angin malam berembus cukup membuat siapapun yang tersapu embusannya akan memeluk dirinya sendiri atau merapatkan pakaian yang mereka kenakan. Tampaknya hujan telah memberi tanda akan kehadirannya malam ini. Gadis itu duduk di kursi panjang kecil di depan restoran. Menunggu seseorang yang katanya akan mengantarnya pulang. Enggan menunggu di dalam karena canggung dan restoran sudah ditutup. Katanya, seseorang yang bakal mengantarnya pulang masih harus melakukan briefing dengan anggotanya yang lain untuk perform mereka esok hari.

Kinara merapatkan cardigan tipis yang melapisi kaus lengan pendeknya. Gadis itu menghembuskan napas pelan. Ia menatap kosong pada panggung live music yang sudah terlihat kosong dari luar sini. Ia mengerjap-ngerjap sejenak. Bagaimana mungkin beberapa saat yang lalu ia bisa tenggelam dalam alunan irama musik yang disesaki oleh suara serak milik pemuda yang baru dikenalnya beberapa hari lalu. Iya, hanya suara cowok itu yang sampai sekarang masih terasa menabrak indera pendengarannya dengan lembut. Senyaman itu. Padahal sebelumnya, ia tidak pernah membiarkan dirinya terlarut dalam alunan musik manapun, oleh suara Adam Levine atau James Arthur sekalipun. Atau, hanya dirinya saja yang terlalu menutup diri?

Meskipun dari banyak lagu yang tadi dibawakan, jelas saja gadis itu tidak tahu atau tidak pernah mendengar lagu-lagu itu—kecuali lagu-lagu Sheila On 7 yang memang masih sering diputar oleh mamanya di rumah—ia tetap bisa menikmati dan hanyut tenggelam dalam emosi yang tak bisa ia gambarkan lewat sekedar kata-kata. Sesuatu yang—seketika menidurkan sisi antagonis dalam dirinya.

Pintu restoran terbuka. Kinara segera mengubah posisi duduknya menjadi berdiri. Namun geraknya terhenti ketika seseorang yang keluar bukan seseorang yang ia harapkan. Malah cowok blasteran dengan rambut blonde yang sudah menutupi telinga itu yang keluar dan sama-sama terdiam ketika mendapati Kinara ada di hadapannya.

"Belum pulang?" tanya Jonathan basa-basi. Padahal ia sebenarnya tahu, Nuga akan mengantar cewek ini pulang. Sejak tadi, Nuga sudah banyak berbicara tentang Kinara pada yang lain.

Kinara menggeleng terpatah. "Nunggu Nadir,"

Jonathan mengangguk lalu tanpa basa-basi lagi langsung melengos begitu saja menuju arah parkiran. Kinara dibuat terpaku oleh tingkah dingin cowok itu. Ada sesuatu yang mencelos di dalam hatinya. Ia menggigit bibir bawahnya sendiri. Namun tiba-tiba tersentak ketika Jonathan berbalik arah dan malah berjalan ke arahnya, melepas jaket yang dikenakannya.

Cowok itu membiarkan dirinya dalam balutan kaus tipis berlengan pendek dan menyampirkan jaketnya di pundak Kinara membuat gadis itu membisu dan menegang di tempat.

"Kaus lo tipis banget. Setahu gue Nuga gak bawa dua jaket. Dan malam ini lo harus diantar pakai motor,"

Dan begitu saja, seorang Jonathan berhasil meruntuhkan kembali pertahanan yang telah dibangun tinggi-tinggi oleh gadis senja ini. Gadis itu memaksakan sebuah senyum. Lalu membisikkan kata "terimakasih" yang sudah jelas tidak akan didengar oleh cowok yang telah berlalu memunggunginya.

Lamunannya buyar ketika deheman seseorang menyapa indera pendengarannya dan mengembalikannya ke dunia nyata. Kinara mengerjap. Melihat pada tiga pemuda dan seorang gadis yang keluar bersamaan dari dalam restoran. Nuga tersenyum penuh arti pada Kinara. Gadis itu mengalihkan pandangannya ke mana saja asal jangan menatap cowok itu.

"Gue balik duluan, ya, anak orang jagain. Jangan lo bawa mojok-mojok dulu," Yuda menepuk pundak Nuga yang lebih tinggi sedikit darinya itu dan langsung menggenggam tangan Mare, mengajaknya pulang. Nuga cuma cengengesan sambil melambaikan tangan.

"Elah gue jomblo lagi dong," Abin mendengus frustasi. Nuga terkekeh. "Emang udah takdir lo jomblo terus, Bin,"

Abin cengengesan, menggaruk tengkuknya. "Ini lagi proses kok, otw sama dedek Deana,"

Dialog SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang