10. Kidnapping

157 20 4
                                    

Satu pekan berlalu begitu lambat buat Kinara yang dunianya terasa diacak-acak semenjak keputusan mami yang tiba-tiba meminta Kinara untuk tinggal bersama ayahnya selama ia belum mendapat kuliah dengan bidang yang ia inginkan. Tentu saja, keputusan mami memancing amarah yang meluap-luap dari gadis delapan belas tahun itu. Dua hari yang lalu, mami pulang dari Jakarta. Esoknya, mami mengatakan keputusan sepihaknya pada Kinara yang tanpa aba-aba sehingga membuat gadis itu mengurung diri di kamar seharian.

Hari ini, Kinara keluar dari dalam kamar dengan wajah pucat dan rambut berantakan. Matanya kelihatan sembab dan memerah. Gadis itu duduk di halaman belakang rumah yang sepi. Entah ke mana semua orang pergi pagi ini. Biasanya, papi akan ada di halaman belakang entah mengurus kebun kecilnya atau memberi makan ikannya. Fajar biasanya sedang membantu papi atau jogging entah ke mana. Sedangkan mami, dari yang Kinara perhatikan selama di sini, pasti mengurus urusan dapur. Dan dirinya tentu saja masih berada di atas tempat tidur.

Tapi pukul enam pagi tadi Kinara terbangun karena mimpi buruk yang kerap menyambanginya kala tidur. Lalu memutuskan untuk berdiam diri di halaman belakang sebab ia sudah terbangun sepenuhnya dan tidak bisa tidur kembali.

Ada setidaknya satu jam Kinara cuma duduk sembari memikirkan banyak hal di undakan tangga halaman belakang rumah papinya. Tidak ada yang ia lakukan selain menghirup udara pagi yang segar dan memperhatikan tiap sudut kebun kecil papi dengan tatapan kosong sampai terdengar pintu depan dibuka dan suara tawa Fajar memenuhi seluruh penjuru rumah. Kinara memejamkan mata rapat-rapat ketika sadar maminya mendekati Kinara dengan lari kecil.

"Sudah bangun, Nak? Sarapan dulu, yuk? Mami abis dari pasar barusan, sekalian lari pagi sama Fajar dan papi terus pulangnya beli sarapan buat kita. Yuk?" Mami duduk di sebelah Kinara dan mengusap pelan rambut anak gadisnya. Wanita itu tahu betul, Kinara belum dalam kondisi emosi yang stabil dan masih bisa meledak kapanpun.

"Nar, kamu nggak makan apa-apa loh dari kemarin," mami berujar lagi mendapati tidak ada tanggapan apapun dari anak gadisnya.

"Kenapa, sih, Mi, harus aku?" Tanya gadis lirih itu sembari menundukkan kepala. Mami menghela napas.

"Nanti kita bicarakan lagi soal itu, ya? Sekarang kamu sarapan dulu,"

Kinara menggeleng. "Aku nggak suka di sini. Aku nggak suka tinggal sama papi,"

"Tapi papi kamu butuh kamu,"

Kinara tertawa sarkastik, sebelum memalingkan wajah dan menanggapi ucapan mami. "Butuh untuk apa? Mau bujuk aku biar bolehin dia rujuk sama Mami? Jangan harap,"

Mami diam selama beberapa detik. Berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan yang sebenarnya pada Kinara.

"Papi masih sayang sama kamu, Kinar. Sama kita semua,"

"Bullshit,"

"Kinara—"

"Kalau sayang, harusnya dulu Papi nggak ngelakuin itu. Kalau sayang, harusnya dulu Papi kembali ke rumah dan bukannya ninggalin kita lalu tinggal sendiri kayak gini. Aku nggak ngerti..."

"Justru itu. Papi mau kamu tinggal di sini biar kamu mengerti,"

"But there's nothing to explain. I already know everything,"

Mami menggeleng. "Kinara, kamu sayang Mami dan Fajar, kan?"

Kinara mengerutkan dahi. Menatap nanar pada mami yang kini memandangnya serius. Kinar mengangguk pasrah.

"Untuk saat ini, cuma kamu yang bisa temenin papi di sini. Papi butuh kamu, he really does. Kalau kamu nggak bisa melakukan itu buat papi, lakukan itu buat Mami dan Fajar, ya?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 20, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dialog SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang