10. Hanya Masa Lalu?

1.8K 171 120
                                    


Menyimpan kegundahan soal rahasia ruangan pribadi milik Kakek Wirabhumi sungguh melelahkan hati Tata.

Bhatara selalu menghindari topik itu setiap kali Tata menyinggungnya.
Tata tak ingin memaksa.
Dia pun tak ingin bertengkar dengan calon suami di saat mereka justru sedang mempersiapkan jalan untuk bersatu dalam ikatan resmi.

Tapi, tetap saja kegundahan itu mengganggu.
Pikirannya hampir selalu tertuju ke masalah itu jika di saat senggang.
Dia sungguh penasaran, mengapa Bhatara menghindari pembahasan soal ruangan itu?
Bukankah dia sudah berjanji untuk menceritakannya?

Terkadang terpikirkan untuk bertanya pada Tante Dahayu atau Tari.
Tapi dia takut, reaksi mereka juga akan seperti Bhatara.
Dia takut pertanyaannya akan mengacaukan semua rencana yang telah tersusun rapi.

Saat berada di kantor yang sedang sibuk-sibuknya dengan target menjelang akhir tahun, Tata mungkin bisa sejenak mengalihkan fokusnya.

Tapi di rumah, dia terlihat banyak termenung sendiri.
Dan itu ditangkap oleh sang Mama.

"Ta, Mama lihat akhir-akhir ini kamu kok suka bengong sih?
Ada apa Sayang? Tata punya masalah?" tanya Mama saat mereka sedang santai menonton tv selepas makan malam.

Tata menjawab pertanyaan Mama dengan tatapan ragu.
Ingin cerita tapi takut Mama akan ikut terbebani dengan kegundahannya.

Kalau saja Bhatara mau dengan gamblang menceritakan soal ruangan rahasia itu, Tata pasti nggak segelisah ini.

"Nggak ada apa-apa kok Ma, cuma capek aja. Pak In ngomongin target mulu. Sementara Tata juga harus fokus dengan persiapan nikah," jawab Tata sambil tersenyum, kaku.

Tuh jadi boong kan...
Maaf Ma, Tata belum bisa cerita sekarang.

Tata bergumam dalam hati.

Mama sebenarnya dapat membaca kebohongan di mata putrinya.
Naluri seorang ibu tak bisa dikelabui.
Namun dia paham sifat Tata.
Tata cenderung tidak mengumbar persoalan pribadinya.
Dari kecil memang begitu.

Tata tak bisa didesak.
Makin didesak dia akan semakin menghindar.
Ada saatnya dia akan membuka sendiri persoalan tanpa perlu ditanya-tanya terus.

Mama tersenyum.
Membelai punggung tangan Tata dengan lembut.

"Yah udah, jangan stres dong. Nikmati setiap proses dengan hati lapang. Calon pengantin memang suka begitu. Mama dulu juga mengalaminya. Baru lega setelah hari besar itu lewat. Kalau memang terasa berat, cerita sama Mama. Kapan pun kamu butuh, Mama akan bantu."

Tata terharu.
Mamanya memang pengertian.

Dengan mata berkaca-kaca dipeluknya tubuh wanita yang telah mengantarnya hadir ke dunia ini.

"Makasih Ma, Tata sayang Mama."

Mama menepuk punggung anak perawannya dengan sayang.
Menyalurkan rasa nyaman yang menentramkan.
Meskipun dia tak tahu apa persoalan yang tengah dihadapi sang putri.

"Ehem... ada apa nih, kok pake peluk-peluk. Papa juga pengen dipeluk dong," tiba-tiba terdengar suara Papa yang ikut merangkul.

"Iiih si Papa, ini women talk," sahut Mama sambil memukul pelan pundak sang suami.

"Udah Pa, sini Papa sama Rama aja. Kita bikin tandingan, men talk," si bungsu pun ikut bergabung.

"Dari mana kamu? Jam segini baru pulang," ujar Papa yang malah memasang wajah galak.

Tata melirik jahil ke adiknya sambil mengucap 'sukurin' tapi tanpa suara.

"Papa apaan sih? Anak pulang tuh disambut, ditanya baik-baik. Kok malah diomelin sih," Rama pura-pura ngambek.
Dia tahu Papa tak benar-benar marah.
Papanya jarang berkata keras.

Suhitta, Memeluk Takdir Dalam Kutukan?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang