PERTAMA

16.2K 1.5K 27
                                    

Lima tahun kemudian.

"Tiara, jangan lupa bekal kamu di atas meja."

"Iya, Bunda."

Gadis kecil berumur lima tahun tersebut berlari kecil menuju ruang makan untuk mengambil bekal buatan sang Bunda. Dia dengan gesit memasukkan kotak makanan bergambar Hello Kitty tersebut ke dalam tas.

Namanya Mutiara Kasih Sumitra. Gadis cantik berambut panjang dengan lesung pipit yang menghiasi pipi gembilnya.

"Air mineral?"

"Sudah," jawab Tiara mantap.

"Oke. Kita berangkat sekarang."

Naya meraih tangan mungil putri tercintanya untuk segera keluar dari rumah kecil mereka. Rumah yang Naya beli dengan cara mencicil setiap bulan.

"Bunda, helmnya," ucap Tiara sambil menunjuk kepala Naya.

Wanita itu hanya bisa menepuk keningnya kemudian kembali ke dalam rumah. Sifat lupanya akhir-akhir ini semakin parah. Apalagi di pagi hari seperti ini.

Setelah memastikan bahwa rumah telah terkunci dengan benar. Naya segera menghidupkan motor matic kesayangannya untuk membelah jalanan kota Semarang yang lumayan padat di pagi hari.

Dia tidak ingin Tiara ataupun dirinya terlambat. Jadi, Naya melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Di belakang, Tiara mencengkeram pinggang Naya dengan sangat erat sambil menempelkan wajahnya pada punggung sang Bunda.

Dua puluh menit kemudian, mereka sudah sampai di tempat Tiara bersekolah. Anak itu masih duduk di TK kecil.

"Oke. Anak Bunda masuk dulu, ya. Belajar yang rajin dan jangan lupa makan bekalnya. Sun dulu." Naya memajukan wajahnya agar Tiara bisa mencium pipinya. Setelah itu gantian Naya yang mencium pipi Tiara kanan dan kiri.

"Tiara sekolah dulu ya, Bunda. Assalamualaikum." Gadis kecil itu pun berjalan masuk ke dalam halaman sekolah setelah memberikan sebuah kiss bye untuk sang Bunda.

Naya menarik napasnya kemudian melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Astaga, gawat!" 

Naya segera menstarter motornya. Dia kemudian dengan cepat meninggalkan pelataran sekolah TK Tiara. Butuh tiga puluh menit untuk tiba di kantor majalah tempatnya bekerja saat ini. Dia tinggal di Banyumanik dan bekerja di sebuah kantor penerbitan di daerah Semarang Barat.

Padahal Naya sudah bangun pukul setengah lima pagi, tapi tetap saja membuatnya hampir telat setiap harinya. Karena Tiara adalah anak yang cukup susah untuk dibangunkan. Gadis kecil itu akan bangun pukul enam pagi setiap harinya kemudian mandi dan berdandan lalu sarapan. Aktivitas tersebut membutuhkan waktu kurang lebih satu jam.

Pukul delapan lebih lima menit Naya baru sampai di kantor tempatnya bekerja. Sial. Dia terlambat lima menit. Matanya melirik ke seluruh kubikel yang sudah terisi oleh para staf dan karyawan. Dengan langkah panjang dia pun segera menuju meja kerjanya.

"Nay, kamu dicari Pak Lana," bisik Risa, salah satu teman editornya.

Belum sempat Naya menaruh bokongnya pada bantalan kursi, tapi atasannya sudah mencari dirinya. Sial.

Naya mengatur napasnya sebentar sebelum mengetuk pintu dan masuk ketika suara berat seorang laki-laki mempersilakannya.

"Bapak mencari saya?" tanya Naya yang kini sudah berdiri tepat di depan laki-laki berwajah tampan yang selalu menunjukkan sikap datar dan sedingin kutub utara.

"Hmm." Laki-laki itu melirik Naya sekilas sebelum mengambil sebuah berkas dan membantingnya langsung di atas meja.

Naya sempat berjingkat dengan apa yang baru saja dilakukan oleh atasannya tersebut. Susah payah dia menelan ludahnya sendiri. Apa salahnya sekarang?

"Apa ini Naya?" tanya laki-laki yang menjabat sebagai pimpinan redaksi tersebut.

Naya mengambil berkas tersebut dari atas meja dan membacanya sekilas.

"Ini artikel untuk minggu depan, Pak," jawab Naya sejujurnya.

"Apa itu yang kamu bilang artikel berbobot?" tanya laki-laki itu kembali. Suaranya dingin dan angkuh.

Sial. Mimpi apa dirinya semalam sehingga mendapatkan masalah pagi ini. Dia sungguh tidak ingin berurusan dengan manusia kutub satu ini.

"Saya akan memperbaikinya lagi Pak."

"Buang."

"Apa?" Naya hampir memekik saat mengucapkannya.

"Saya bilang buang." Laki-laki itu mengulangi kalimatnya dengan santai.

Ibu satu anak itu mencoba mengontrol emosinya saat ini. Stok sabarnya tiba-tiba sudah hampir habis ketika berhadapan dengan atasannya yang satu ini.

"Maaf Pak, tapi ini adalah hasil dari wawancara oleh salah satu wartawan dan tidak mungkin ada waktu lagi jika kita harus mencari narasumber lain."

Mata laki-laki itu menatap lurus ke arah wajah Naya. Tajam dan dingin, membuat bulu kuduk Naya merinding.

"Apa saya bilang untuk ganti topik dan narasumber?"

Naya menggeleng dengan ragu.

"Kamu itu cantik tapi otakmu sedikit tidak berfungsi dengan baik. Kamu terlalu lemot untuk bisa mengartikan kata-kata saya."

Sialan. Kalau bukan karena laki-laki ini adalah atasannya, Naya pasti sudah menyumpah serapah di depannya langsung. Bukan Naya yang lemot tapi bosnya ini yang tidak mengerti bahasa manusia. Bukankah tadi Naya sudah bilang ingin memperbaiki. Ah, sudahlah. Bicara dengan manusia kutub itu susah.

"Baik Pak, saya mengerti." Saya mengangguk kemudian meninggalkan ruangan itu setelah mendapatkan isyarat untuk keluar dengan kibasan tangan.

Naya duduk sambil melempar berkas tersebut dia atas meja kerjanya. Dia menarik napas dan mengembuskannya melalui mulut beberapa kali, hingga menarik perhatian Risa yang duduk di sebelahnya.

"Kamu nggak papa?" tanya Risa melongokkan kepala ke dalam kubikel Naya.

Naya menggeleng.

"Pak Lana marah-marah, ya?" tanya Risa lagi. Sepertinya wanita yang lebih muda lima tahun darinya tersebut sangat penasaran dengan apa yang terjadi di dalam ruangan pimpinan redaksi tadi.

"Aku kudu ubah artikel rubrik Ibu dan Anak untuk minggu depan,"  jawab Naya membenarkan letak duduknya agar lebih tegap.

"Serius?"

Naya mengangguk.

"Gila."

Naya tiba-tiba tersenyum kecil mendengar tanggapan yang diberikan oleh Risa.

"Kamu kudu lembur dong?"

"Apa boleh buat. Besok udah Jum'at dan Sabtu sudah harus masuk percetakan. Aku kudu seterong." Naya menunjukkan otot lengannya sambil mengepal.

Risa menepuk pundak Naya untuk memberikan sedikit dorongan moral. Menghadapi laki-laki bernama Kelana Wiraatmaja harus dengan kesabaran yang lebih besar. Pasalnya laki-laki itu selalu tidak pernah puas dengan hasil kerja bawahannya. Selalu ada saja kesalahan di matanya. Mereka kadang bertanya, apakah laki-laki itu tidak pernah melakukan kesalahan?

"Naya semangat!" ucapnya kemudian untuk dirinya sendiri.

Dia harus kuat dan sabar. Karena mencari pekerjaan di usianya sekarang itu tidak mudah. Apalagi dengan adanya Tiara. Biaya hidupnya semakin besar. Sekolah, cicilan rumah dan lainnya harus dia tanggung sendiri. Jika dia tidak bisa bertahan maka anaknya akan kesusahan. Naya tidak ingin melihat Tiara hidup susah. Cukup dirinya yang harus bekerja keras untuk kebahagiaan putri satu-satunya yaitu Mutiara.

****

Dia berasal dari kotoran yang dikumpulkan selama bertahun-tahun di dalam sebuah cangkang dan dengan rasa sakit.
~ Mutiara ~

****

Happy Reading
Vea Aprilia
Sabtu, 01 Desember 2018

MutiaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang