Keduapuluhdua

8.6K 1K 52
                                    

Mahesa sedang duduk di salah satu cafetaria di lantai satu kantornya. Dia sedang sibuk mengamati ponselnya yang sejak satu jam tadi mengusik pikirannya. Tadi, Anji mengirimkan pesan untuk mengajaknya minum kopi bersama di kafe. Setelah itu, dia benar-benar berada di kafe sejak sepuluh menit yang lalu, tapi Anji belum juga muncul.

Namun, ada sesuatu yang aneh dari sikap Mahesa. Dia seperti sedang gelisah. Suami dari Siska itu terlihat tidak begitu nyaman saat duduk dan beberapa kali mengecek arlojinya. Laki-laki itu juga beberapa kali menyeruput kopi di meja untuk mengurangi rasa gelisahnya.

"Udah lama?" tanya Anji yang tiba-tiba sudah duduk di kursi kosong depan Mahesa.

Mahesa yang sedari tadi gelisah mendadak jadi sedikit kesal setelah melihat wajah Anji.

"Baru kok," jawabnya singkat kemudian menyeruput kopinya kembali.

"Kamu nggak sibuk banget, 'kan?" tanya Anji lagi setelah pelayan mengantarkan minuman untuknya.

"Enggak kok. Ini juga sudah masuk jam makan siang." Entah kenapa Mahesa merasa canggung berada satu tempat dengan Anji. Dia merasa ada satu tekanan batin.

"Aku mau tanya soal Kanaya."

Satu kalimat dari Anji mampu membuat kedua tangan Mahesa yang sedang berada di bawah meja terkepal. Dia merasa marah saat nama Kanaya terucap dari bibir laki-laki di depannya ini.

"Waktu itu kamu kasih aku nomor dia, tapi sekali pun Kanaya tidak pernah balas atau jawab telepon dari aku. Apa mungkin kamu salah kasih aku nomor telepon?" tanya Anji kemudian menyeruput latte dalam cangkirnya.

Mahesa mengumpat dalam hati. Dia sudah dimarahi oleh Siska beberapa hari yang lalu gara-gara memberikan nomor Kanaya tanpa izin, dan sekarang laki-laki di depannya ini malah mengoceh jika nomor itu salah.
Damn it.

"Itu benar nomor Kanaya, kok. Mungkin dia lagi sibuk atau lupa nggak balas pesan atau telepon dari kamu," dalihnya. Padahal dalam hati Mahesa sangat bersyukur sekali saat mendengar Kanaya tidak membalas atau mengangkat telepon dari Anji.

"Mungkin saja," balas Anji singkat.

Mahesa diam-diam menelisik wajah laki-laki di depannya ini. Secara fisik Anji memang tampan, rahang tegas dengan potongan rambut cepak, kulit kecokelatan yang malah terkesan macho juga tubuh yang atletis serta mempunyai senyum yang bisa membuat wanita klepek-klepek. Sebelas-duabelas dengan aktor perfilman tampan Hollywood. Tidak berlebihan bukan?

Kemudian secara materi juga sangat berlimpah. Terlahir dari keluarga kaya di Indonesia. Sekarang menjadi salah satu direktur tv swasta milik keluarganya. Apa lagi? Oh ya, jangan lupakan sang penakluk wanita. Mungkin karena pesonanya itu hingga bisa membuat Kanaya jatuh hati.

"Aku mau ke Semarang beberapa hari lagi. Kamu tahu alamat rumah Kanaya?" lagi-lagi Anji bertanya soal Kanaya.

Mahesa diam-diam berdecak. Dia sedikit menyesal menerima ajakan Anji untuk minum kopi bersama. Walaupun mereka bersahabat, tapi dia masih menghargai laki-laki itu sebagai atasannya di kantor jadi dia tidak bisa menolak begitu saja.

"Aku nggak tahu." Singkat, padat dan jelas, tapi itu bohong. Mahesa sangat tahu betul alamat rumah Kanaya di Semarang. Dia dan juga Siska pernah beberapa kali main ke sana sewaktu liburan.

"Oh." Hanya itu yang keluar dari mulut Anji.

Tak berapa lama Mahesa larut dalam pikirannya sendiri. Dia ingat dengan kata-kata sang istri ketika akan masuk ke dalam kamarnya dua hari yang lalu dan seketika itu Mahesa menghentikan langkahnya.

Tapi, Anji seharusnya tahu kalau lo lagi hamil anaknya.

Waktu itu Siska berteriak dengan keras dan itu sudah jelas membuat Mahesa membeku di tempatnya. Dia susah payah menelan ludahnya. Otaknya tiba-tiba kosong.

MutiaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang