KeempatpuluhEnam

10.4K 799 80
                                    


Seminggu sudah semenjak pertemuan dengan kedua orang tua Anji. Kanaya masih saja bingung dengan hati dan juga perasaannya. Malam itu ketika melihat interaksi, Tiara dengan kedua orang tua Anji membuat hatinya menghangat. Ada ruang kosong yang selama ini ia abaikan seolah terisi oleh jutaan kebahagiaan. Tak bisa dipungkiri, jika Kanaya juga bahagia. Namun, dirinya masih ragu.

Anji sendiri sudah kembali ke Jakarta keesokan harinya setelah pertemuan itu. Laki-laki itu tidak bisa terus meninggalkan pekerjaannya. Begitu pun dengan kedua orang tuanya.

Kanaya mencium puncak kepala Tiara yang sudah terlelap di sampingnya. Dengan gerakan pelan, dia turun dari ranjang. Mengambil ponselnya untuk menghubungi seseorang. Siska.

"Hallo, Cha," ucapnya setelah sambungan teleponnya diangkat.

"Hay Nay, gimana kabar lo?" Sudah lama memang mereka tidak saling memberikan kabar.

"Gua dan Tiara baik-baik saja. Gimana kabar lo sendiri? Satria pasti sudah bisa merangkak?"

"Alhamdulillah semua di sini juga sehat.  Iya ini Satria udah mulai merangkak."

Kanaya menghela napas panjang sebelum berbicara. Ada hal penting yang harus dia sampaikan pada sahabatnya. Bagaimanapun juga Siska adalah orang yang selama ini berjasa dalam hidupnya. Ketika semua keluarganya tidak mau menerima dirinya dan Tiara, hanya Siska yang mau memberikan uluran tangan.

"Cha," panggilnya lirih.

"Iya... lo pasti sedang ada masalah, kan?" Siska selalu bisa tahu sebelum Kanaya berbicara. Karena dia sudah mengenal betul karaktek ibu satu anak itu.

"Gue...," Kanaya menarik napas lagi, "dilamar... Anji."

Terdengar helaan napas di ujung sana. "Gue udah tahu," balas Siska.

Kanaya sedikit terkejut, tapi kemudian dia sadar jika Mahesa dan Anji itu berteman. Pasti Anji sudah memberitahu Mahesa dan kemudian dilanjutkan pada Siska.

"Lo tahu?" tanya Kanaya memastikan.

"Iya, Mahesa dah cerita. Lalu, gimana dengan keputusan lo?"

Kanaya menarik napas lagi. Terasa berat. Pikirannya menerawang ke masa lalu dan masa depan.

"Nay?" panggil Siska karena tak kunjung mendapatkan jawaban.

"Iya," jawab Kanaya lemah. "Gue bingung."

"Bingung kenapa lagi? Lo masih ragu dengan Anji?"

"Gue ragu dengan perasaan gue sendiri."

Siska diam. Masalah perasaan memang tidak bisa dipaksakan. Dia tahu, jika Kanaya tidak mudah untuk menerima Anji lagi.

"Pikirkan Tiara," ujar Siska lembut.

Tiara. Lagi-lagi Mutiara, anaknya sebagai alasan.

"Jangan lagi egois. Mau sampai kapan lo kayak gini. Tiara butuh sosok seorang ayah. Lo tahu kan, jika anak perempuan itu akan lebih dekat dengan sosok seorang ayah."

Siska mencoba untuk membuka pikiran Kanaya. Sahabatnya itu tidak bisa terus berlari. Ada saatnya Kanaya harus bisa menerima takdir yang sudah Tuhan gariskan.

"Lo nggak capek?" tanya Siska dengan nada serius. "Gue tahu lo itu kuat, tapi gimana dengan Tiara. Dia masih kecil. Sudah cukup lo bersikap egois selama ini."

"Cha, please, jangan jadikan Tiara alasan."

"Lha memang Tiara adalah alasan yang kuat buat lo sama Anji. Kalau enggak ada Tiara, nggak bakalan ada masalah serumit ini." Suara Siska terdengar sewot.

MutiaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang