KetigapuluhTiga

7.4K 980 87
                                    

Mahesa menatap pipi kanan Anji yang membiru. Tangan laki-laki itu mengepal, ingin rasanya dia juga memberikan sebuah pukulan tambahan di bagian pipi yang lain, tapi ditahan. Anji dan Mahesa sedang berada di ruang kerja Anji untuk membicarakan program baru stasiun televisi.

"Kenapa dengan wajahmu?" tanya Mahesa basa-basi, padahal dia tahu jika itu semua ada hubungannya dengan Kanaya. Siska sudah menceritakan semuanya.

"Bukan apa-apa, hanya terjatuh."

Mahesa mendengkus. Pembohong.

"Apa kamu sering menemui Kanaya?" Mahesa tidak tahan lagi untuk tidak bertanya. Dia ingin meluapkan emosinya saat ini. Walaupun tidak pantas di saat mereka sedang membahas pekerjaan malah membicarakan masalah pribadi.

Pertanyaan Mahesa membuat Anji langsung mengalihkan pandangan dari berkas yang sedang dia baca untuk sesaat. "Dari mana kamu tahu?"

"Sebaiknya, mulai sekarang kamu menjauhi Kanaya." 

Anji menarik napas panjang. Hilang sudah minatnya untuk melanjutkan membaca berkas. Dia kemudian menatap lurus ke arah Mahesa. 

"Apa Kanaya yang melarang?" tanya Anji.

"Dilarang atau tidak oleh Kanaya, tapi sebaiknya kamu tidak usah lagi menemui dia dan juga Tiara."

Anji mengernyit. "Apa hakmu melarangku untuk bertemu mereka?" tanya Anji lagi, tapi kali ini ada nada ketidaksukaan. 

"Aku memang tidak mempunyai hak penuh, tapi sebagai sahabat, aku peduli. Aku tidak ingin Kanaya terluka."

"Kanaya pasti sudah menceritakan semuanya, kan? Dan kamu pasti sudah tahu lebam di wajahku bukan karena jatuh, iya kan?"

Mata mereka saling beradu. Saling lempar tatapan tajam.

"Kamu memang sudah gila. membawa Tiara tanpa izin terlebih dulu."

Anji mendengkus. "Aku sudah menghubungi Kanaya ....

"Tapi, tidak dibalas bukan?" potong Mahesa.

Anji terdiam. Memang diakuinya jika itu adalah kesalahan besar.

"Seharusnya kamu pikirkan dulu. Jika itu adalah anakmu, lalu dibawa oleh seseorang yang mengaku sebagai keluarga, bagaimana perasaanmu?" 

Anji tidak membalas. Dia tidak bisa membayangkan jika terjadi pada anaknya. Pasti dia akan khawatir sekali.

"Itu yang dirasakan Kanaya. Dia pasti sangat khawatir dan ke sana kemari mencari Tiara. Apa kamu tidak memikirkan itu semua?"

Anji mendengkus. "Oke, aku memang salah, tapi Tiara kan sudah kembali pada Kanaya dan dalam keadaan baik-baik saja." Sengaja dia memberikan penekanan pada kata-kata terkahir.

Anji sudah tidak bisa bersabar lagi. Dirinya tahu kalau bersalah. Sudah cukup dia disalahkan oleh Kanaya dan Kelana, tidak perlu ditambah dengan Mahesa.

"Enteng sekali kamu bicara. Kamu tidak tahu kalau Tiara ...." Mahesa tidak melanjutkan perkataannya. Padahal dia ingin membuka semuanya agar laki-laki di depannya ini tahu semua kebenarannya. Mulutnya sudah gatal untuk mengatakan apa yang dia ketahui, tapi tetap saja akal sehatnya melarang.

"Dan aku tidak akan berhenti untuk menemui Kanaya dan Tiara."

Ucapan Anji membuat Mahesa sedikit terkejut.

"Kamu tidak perlu ikut campur, ini adalah urusanku dengan Kanaya," imbuh Anji.

Mahesa tersenyum sinis. "Baiklah, aku tidak akan ikut campur, tapi jika kamu tahu yang sebenarnya, jangan pernah menyalahkan Kanaya atau siapa pun. Kamu laki-laki pengecut jika sampai melakukan itu."

Setelah mengatakan kalimat tersebut Mahesa keluar dari ruangan Anji tanpa permisi. Laki-laki itu merasa marah dengan keadaan yang ada, tapi dia tidak bisa untuk mengungkapkannya. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk pergi saja sebelum amarahnya benar-benar meledak.

Anji yang melihat sikap Mahesa menjadi bertanya-tanya. Apalagi dengan kalimat terakhir yang sahabatnya itu ucapkan. Apa yang sebenarnya terjadi? Dan kenapa dia harus menyalahkan Kanaya? Bukankah dirinya yang harus disalahkan karena telah membawa Tiara tanpa izin?

Pikiran Anji sudah tidak bisa berkonsentrasi untuk bekerja. Otaknya sudah dipenuhi dengan Kanaya dan Tiara lagi. Rasa bersalah itu muncul kembali. Dia merasa jika Kanaya tidak akan memaafkannya.

****

"Kamu pasti baru saja bertemu Pak Anji, kan?" todong Siska. Wanita itu sengaja mencari suaminya. Dia takut kalau Mahesa tidak bisa mengontrol emosinya saat bertemu Anji dan mengatakan semuanya. Mereka saat ini sedang berada di sebuah lorong yang sepi.

Mahesa menarik napas panjang sebelum bicara. " Aku memang baru bertemu Pak Anji, urusan pekerjaan."

Siska menarik napas lega. 

"Tapi, aku tetap tidak bisa tinggal diam begitu saja," imbuh Mahesa.

Mendengar perkataan Mahesa membuat Siska jadi curiga. Dia sudah menceritakan semuanya pada Mahesa tentang kejadian yang menimpa Tiara.

"Kamu ngomong apa?" tanya Siska penasaran.

"Aku cuma ngelarang dia untuk ketemu Kanaya dan Tiara."

"Mas ...." Siska menarik napas panjang dan membuangnya. "Mas, kamu nggak punya hak untuk melarang Pak Anji."

"Aku tahu."

Sekali lagi Siska harus tetap waras untuk memberi pengertian pada suaminya. 

"Ingin rasanya aku memukul wajahnya."

"Mas!" Siska harus bisa bersabar untuk menenangkan suaminya.

"Tapi, sampai kapan kita harus diam saja dan cuma jadi penonton. Aku sebenarnya sudah ingin mengatakan semuanya."

"Mas!" bentak Siska. 

Mahesa melengos. Dia tahu jika Siska pasti akan marah padanya. 

"Kita nggak punya hak untuk ikut campur urusan mereka, Mas. Aku juga marah saat mendengar cerita Kanaya, tapi tetap saja, biar Kanaya sendiri yang mengatakan semua. Kalau aku ingin menceritakan semua, pasti sudah kulakukan dari dulu. Lagipula, aku sudah memberikan saran pada Kanaya agar mau jujur."

"Apa Kanaya mau?" tanya Mahesa penasaran.

"Aku tidak tahu, tapi semoga dia mau, setidaknya untuk memikirkannya. Ini menyangkut masa depan Tiara. Anak itu berhak tahu siapa ayahnya.Tiara juga semakin besar, tidak mungkin Kanaya terus menyembunyikan kenyataan yang ada. Jadi, plis jangan ikut campur lagi. Kita cukup memberikan dukungan untuk Kanaya, jangan menambah beban lagi."

"Tapi, bagaimana jika Anji tidak mau mengakui?"

"Mengakui apa?" 

Mahesa dan Siska langsung menoleh ke arah sumber suara dan menemukan Anji sedang berdiri dengan wajah yang sulit ditebak. Mereka berdua tentu saja terkejut, bagaimana jika Anji mendengar semuanya? 

Mahesa dan Siska merasa bersalah pada Kanaya sekarang. Mereka hanya bisa berdoa semoga saja Anji tidak mendengar semuanya, tapi tatapan tajam laki-laki itu menunjukkan emosi yang terpendam. Apalagi gestur laki-laki itu pun menunjukkan aura yang mencekam.

Semoga saja ini bukan sebuah permulaan yang buruk.

***

Hallo para pembaca....

Apakah Anji denger semua atau enggak?

Silakan main tebak-tebakan sendiri hehehehe

Cerita ini mendekati tamat ya, jika ending cerita ini tidak sesuai dengan imajinasi kalian, saya mohon maaf.

Happy reading

Vea Aprilia

Sabtu, 06 July 2019

MutiaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang