Chapter 1.

196 19 0
                                    

Hidupku sangat sederhana, tidak terlalu banyak masalah. Orang-orang di sekitar, mengenalku sebagai pribadi periang. Tapi sebenarnya, ada tiga hal yang selalu kupikirkan setiap hari.

Pertama, di sini tidak terlalu ramai daripada yang kupikirkan.

Kedua, aku berharap hari ini Nessa cuti kerja sehingga kami bisa nongkrong bersama. 

Ketiga, aku merindukan ibuku.

Yah, itu karena aku masih mahasiswa tahun kedua di salah satu universitas di istanbul dan ibuku adalah teman terbaikku. Aku juga sangat merindukan rumahku. Jika saja Nessa di sini, mungkin sedikit terbendung perasaanku. Karena bagiku, dia seperti keluargaku sendiri.

Semua mahasiswa melakukan hal yang sama sepanjang tahun. Kuliah, meninggalkan rumah dan tidak sabar berada jauh dari kampung halamannya. Tapi tidak denganku. Aku memang tidak menyukai tempat ini, karena di sini bukanlah tempatku ataupun Aruna -- pacarku sejak kami masih di bangku Sekolahan dulu. Aku terkejut saat mendengar keputusannya ingin menghabiskan tahun pertama di perguruan tinggi lain tanpaku. Aku merasa hancur karena aku masih mencintainya, tetapi aku menginginkannya bahagia walaupun tidak bersamaku.

Seperti kata lelaki tua itu. Ini hari yang membawa lembaran baru dalam hidup dan aku harus bersemangat untuk hidup baru.

Pukul enam lebih beberapa menit, aku keluar dari rumah, menantang udara dingin dan langit muram. Aku telah menggantikan pakaianku dengan sweater rajut hitam berlengan panjang dan celana denim biru.

Udara di kota terasa dingin di bulan September, yapı hampir tidak ada hujan dibandingkan kota-kota lain. Setidaknya itu sebuah berkah dari langit.

Di sela -sela perjalanan ke tempat kerja, Mama mengirimkan pesan teks:

Morning, morning, morning. All is going well today, sweety.

Aku tersenyum lebar saat membaca kalimat Mama. Aku menjawab:

Thank you, thank you, thank you. Always pray for me, Mom.

Lalu Mama mengirimi pesan-pesan bergambar yang diambilnya dari dapur rumah. Tidak penting memang, tapi aku merindukan masakannya.

Jalanan sangat sibuk saat aku menuju tempat kerja. Aku menunggu di zebra cross bersama kerumunan orang-orang yang memiliki kepentingan masing-masing. Sebagian besar dari mereka adalah pelancong dengan berbagai macam tipe kamera yang bergelantungan di lehernya. Aku tertawa sendiri saat melihat seorang anak remaja memegang sebuah ipad besar saat mengambil foto selfienya.

Aku tidak pernah mengerti apa yang mereka lakukan.

Beberapa detik kemudian, lampu zebra cross mulai berkedip, aku menambah volume musik pada ponselku. Di luar sana, aku selalu memakai headset setiap hari di jam-jam sibuk. Karena kota terlalu bising dengan berbagai aktivitas dan aku merasa perlu memakai headset untuk menghalangi kebisingan. Setidaknya warna-warna suara yang masuk bisa menenangkan pikiranku.

Aku berhenti di Taksim Square, di hadapan sebuah bangunan kecil bergaya Eropa kuno yang didominasi warna putih dan salem muda.

Muse.

Frasa tersebut tertulis pada selembar papan kayu yang tergantung pada langit-langit teras sebuah bangunan. Halaman parkiran di pelataran dipenuhi lalu-lalang kendaraan dan pejalan kaki. Sangat ramai dan bising. Aku bahkan memakai headset di telinga kanan selama bekerja. Jadi, aku masih bisa mendengar jika pengunjung berteriak "kopi" padaku.

Ini sebuah kedai kopi yang terletak di Taksim, kota İstanbul, di sisi jalan utama yang terkenal ramai di bagian utara yang menuju jantung kota. Luasnya tidak seberapa lebar, akan tetapi apa yang ada di setiap sudutnya sangat memikat.

Dinding-dindingnya di lapisi kaca besar yang membentang luas, sehingga pengunjung bebas memperhatikan suasana di sekelilingnya. Dipercantik sketsa-sketsa sederhana dan perabot-perabot kuno begitu pula lampu-lampu yang bergelantungan di langit-langit.

Tepat di hadapanku, tertata kabinet panjang dari kayu berwarna hijau pupus. Di atas kabinet itu terdapat electric grinder keluaran terbaru, beragam aksesoris pembuat kopi yang disusun rapi, dan alat seduh manual terkenal seperti French press, moka pot, sampai cold brew tower yang didapatkan langsung dari luar negeri. Alat-alat unik itu di tempatkan di slow bar yang berbatasan dengan meja pengunjung.

Sekitar setengah meter di belakang kabinet, terbentang rak coklat yang menjulang tinggi ke langit-langit loteng. Di rak itu, tertata berbagai macam ukuran dan bentuk gelas, lengkap dengan definisi dari masing-masing gelas.

Di setiap dinding-dinding kaca ditempatkan empat buah meja makan berjajar rapi, masing-masing di temani sepasang kursi bundar, dudukannya empuk berwarna bunga-bunga yang terbuat dari olahan drum bekas.

Aku tersenyum. Kedai ini mengingatkanku pada Aruna. Penampilannya yang unik. Nuansanya yang akrab. Dan aroma yang menawarkan masa lalu.

Di sinilah seharusnya Aruna berada, di tempat yang membuatnya tertawa lepas.

"Hey, ngelamun apaan sih?"

Belum sempat aku menjawab, lonceng pintu berdencing. Segerombolan remaja masuk menempati kursi di sudut ruangan. Mereka sangat berisik dan berteriak saat berbicara satu sama lain.

"Tuh, penggemarmu datang," ujarku dengan ujung mata.

Aiden seperti paham maksudku, dia melampaikan tangan dan berjalan ke arah mereka. Gadis-gadis itu tersipu malu saat Aiden mendekati mereka.

Yah. Aiden, blasteran Jerman-Turki, rekan kerja favoritku yang banyak digantrungi cewek-cewek cantik. Bahkan tante-tante juga naksir padanya. Dia tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan pria-pria di kota ini. Dan dia memiliki rambut pirang putih yang membuatnya terlihat seperti Draco Malfoy di film Harry Potter. Pada saat dia berjalan keluar dari pintu bar lebih mirip seperti artis papan atas yang berjalan di cat walk. Karena kemiripannya dengan Draco Malfoy, dia terkadang sedikit sombong. Tapi dia baik kepadaku.

Aku sering memperhatikan caranya melihat gadis-gadis remaja yang mengunjungi kedai kopi kami. Dia berakting seperti sedang berada di klub malam.

Dia berjalan sembari tersenyum ke arah mereka dan membuat mereka mengeliat di bawah tatapan wajahnya yang tampan. Aku rasa, itu adalah kelebihannya. Sebenarnya, dia tidak terlalu tampan, hanya saja dia sangat baik kepada orang-orang di sekitarnya. Itulah yang kulihat darinya.

"Hey Man!" Aiden bergumam, menepik bahuku saat kembali ke meja bar.

Dia sangat menggangguku hari ini, mulai dari memegang kepalaku, mengikat celemek kuning di pinggangku dan memeriksa ponselku.

"Kak Aiden, dipanggil sama tante-tante yang duduk di meja luar, tuh!" kata Emma yang tiba-tiba berada di antara kami. Emma -- gadis yang masih training di bawah asuhanku. Dia baik, pendiam tapi pekerja keras dan yang paling kusuka darinya, dia selalu memakan satu kue gratis yang kami bagikan selama pelatihan berlangsung. Kebanyakan trainee lain menolakmya, tapi dia selalu mengambil kue yang bervariasi setiap minggu, seperti chocolate, chocolate macadamis, manisan gula dan makaroni hijau yang memiliki rasa hijau alami.

"Ada apa emangnya?"

"Katanya mau ngajak foto."

"Ohhh, minggir, artis lewat."

Sebagai balasannya, aku memberi tatapan yang seolah-olah berkata "jijik sekali". Kendati demikian, dia tetap rekan kerja terbaikku. Mungkin, kedai kopi ini berutang banyak padanya. Karena wajahnya yang tampan, kami memiliki banyak omset dan tidak pernah sepi pengunjung.

REWRITE Nothing More (ONGOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang