Chapter 12

23 3 0
                                    

Aku melihat Aru berdiri di trotoar, mengangkat tanganya untuk memanggil taksi. Aku berlari ke sisinya dan menurunkan tangannya.

"Jangan menyentuhku," desisnya, asap mengepul keluar dari udara yang dingin. Aku menurunkan tangannya lalu berdiri di depannya. Dia terus menyilangkan tangan di depan dadanya untuk membela diri.

"Ini tidak seperti yang kamu pikirkan, Aru," kataku dengan suara tergesa-gesa, menjelaskan detail permasalahan. Aru berpaling dariku. Dia tidak peduli dengan penjelasanku.

Dengan lembut aku meraih lengannya, tetapi dia pergi menjauhiku seolah aku bajingan yang ingin merampoknya. Beberapa orang yang berjalan melewatiku, menatapku dengan padangan menghakimi seolah aku pendosa yang tiada ampunan.

"Bulshitt!" Teriaknya. "Apakah kamu bercanda, Ben?" Matanya merah. Aku bisa mencium bau alkohol dari napasnya.

Dalam pikiranku, dia berusia enam belas tahun lagi, rambutnya yang ikal terurai digulung-gulung seperti sanggul. Dia mengenakan celana pendek olahraga dan kaus kaki yang panjang selutut, dengan garis-garis merah, duduk bersila di tempat tidurnya sambil membolak-balik majalah Teenager. Rumahnya luas sekali. Kedua orangtuanya telah lama bercerai. Hanya Ayah dan adik laki-lakinya, tapi mereka sedang pergi sehingga kami bebas membicarakan berbagai hal.

Aru muntah setelah meneguk tiga gelas vodka dan aku memegangi rambutnya sementara dia bersumpah tidak akan pernah meminumnya lagi. Aku mengeluarkan sebotol air mineral yang kuambil dari klub, lalu kuberikan kepadanya, karena aku tahu, dia tidak akan pernah tahan dengan minuman alkohol.

"Dia teman nessa, aku nyaris tidak mengenalnya. Aku tahu seperti apa itu—" katanya tanpa menatapku. "Dia sudah membicarakanmu selama berminggu-minggu!" Suaranya nyaring, sedikit serak karena menahan tangisnya. "Dia sangat manis," katanya mengejek.

Pejalan kaki di trotoar menatap kami ketika aku menenangkannya. Seorang pria berbaju denim bersuara, "Aku akan menyelamatkanmu jika aku bisa, kawan!"

"Aku tidak tahu apa yang dikatakannya, tapi aku tidak—" kataku membela diri. Aru mengendik bahunya seolah tidak ingin peduli sembari melambaikan tangan agar aku diam. Gaunnya diikat di pinggulnya, memperlihatkan garis celana ketatnya. Semakin dia bergerak, mondar-mandir di trotoar, semakin jelas terlihat garis-garis merah celananya, sama seperti dulu. Dia tidak pernah berubah.

Dia kembali menghampiriku setelah beberapa detik berjalan mondar-mandir. Matanya menyala dan dia sepertinya mengingat sesuatu.

"Ya Tuhan! Dia menciummu! Dia memberi tahuku" Dia mengambil beberapa langkah melintasi trotoar dan menabrak bahu seorang lelaki yang berjalan di zebra cross. "Itu yang dikatakan. Sialan kau! "

"Pergi dariku," bentaknya saat aku menyentuh sikunya. Aku belum mengatakan apapun dan aku harus berhati-hati dalam mendekatinya. Aku tidak menyangka, mereka berdua akan berbagi cerita tentangku. Bahkan aku tidak berpikir Nora menyukaiku dan menyebutkan namaku dihadapan teman-temannya. Aku tidak akan pernah membayangkan bahwa Aru adalah teman sekamarnya. Bagaimana dunia bisa begitu kecil?

"Aku ikut denganmu. Berapa banyak yang harus kau minum lagi?" tanyaku padanya.

Dia menatap ke arahku; matanya hampir merah menyala sekarang. Aku tidak mendapat jawabannya.

"Aku akan memanggil taksi dan mengantarmu ke tempatmu," kataku sambil meraih ponsel di sakuku.

Hening. Aku memilih untuk tutup mulut. Ini semua salah paham dan aku perlu waktu sendirian dengannya untuk menjelaskan semuanya.

Tiga menit penuh keheningan, mobil avanda hitam berbintang lima menepi di pinggir jalan, aku membimbing Aru ke mobil, tapi dia menepis sentuhanku lalu dia memegangi kepalanya yang tearsa sakit.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 09, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

REWRITE Nothing More (ONGOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang