Chapter 9

24 3 5
                                    

"Maaf!" ucapku dengan langkah terburu-buru. Tudungnya jatuh. Aku tidak mengenali pria itu. Dia mengenakan mantel hitam dan celana jeans abu-abu lalu mengangguk cukup ramah padaku. Gedung apartemen kami setidaknya memiliki tiga puluh unit dan aku hampir mengenal setiap orang atau pasangan yang tinggal di sini, tetapi tidak dengan pria itu. Dia mungkin baru saja pindah.

Saat mencapai persimpangan jalan, aku berhenti berlari. Tanganku menahan rasa sakit pada lututku, tapi masih sanggup berlari. Aku menambah kecepatan, lalu berhenti lagi. Aku menentang trotoar dengan kesal. Aku butuh waktu untuk menguraikan beberapa hal yang terjadi akhir-akhir ini. Pertama, sikap Aru. Dia jarang berbicara sejak pertama kali putus denganku, dan bagaimana bisa dia bersikap seolah-olah kami bertemu setiap hari.

Dia sangat sibuk dengan audisinya dan aku berharap ada sesuatu yang bisa ku lakukan. Aku tidak bisa menghakimi para dewan juri dengan rasisme tanpa bukti. Terutama dengan kegilaan yang terjadi di negara ini. Aku yakin, mereka tidak akan memberikan clue non-kulit putih, atau clue omong kosong lainya. Jika aku melakukan keributan, bisa menjadi bumerang bagiku dan Aru. Hal terakhir yang ingin ku lakukan adalah membuatnya tetap berpikir positif.

Ingin sekali rasanya aku bergegas ke kampus itu, mendobrak pintu dan menuntut keadilan baginya. Aku akan memberitahu mereka bahwa Aru adalah penari balet terbaik yang mereka miliki di sana, walaupun aku belum tahu kemampuannya, tetapi aku berharap suatu hari nanti dia mendapatkan semuanya, karena bagi Aru balet adalah hidupnya.

Dia menari sejak berumur enam tahun, mulai dari hip hop, pindah ke jazz dan akhirnya menetap di balet pada usia remaja. Percaya atau tidak, memulai balet saat remaja sangat sulit. Tapi Aru menghancurkan asumsi itu saat audisi pertamanya di sekolah balet Jakarta. Ibuku mengiriminya uang untuk mengikuti audisi. Itu adalah hadiah ulang tahunnya. Dia menangis bersyukur dan berjanji pada ibuku akan melakukan yang terbaik.

Ibuku tidak menginginkan apapun darinya, dia hanya ingin melihat gadis manis itu bangkit dari keterpurukkannya. Aru berlari melintasi rumah dengan surat yang melambai-lambai di tangannya. Rambutnya tergerai liar karena kegembiraan. Dia berteriak dan melompat ke dalam pelukanku. Aku harus menahan tubuh mungilnya agar tidak terjatuh. Dia sangat bahagia dan aku sangat bangga padanya.

Aku terbahak-bahak membayangkan detail kejadian itu. Saat melewati kedai kopi, seorang wanita yang di tangannya penuh dengan kantong plastik menatap ke arahku. Aku kiku dan berhenti menertawakan diriku sendiri.

Sepertinya aku butuh secangkir kopi.

Hanya sekitar dua puluh menit berlari, aku berbalik ke arah kedai kopi itu dan aku menyaksikan salah satu kantong plastik terlepas dari tangannya.

Aku bergegas membantunya tetapi terlambat, kantong coklat itu robek dan makanan kaleng berguling ke trotoar. Dia terlihat sangat frustrasi sehingga berteriak kepadaku. Aku mengambil sekaleng sup ayam sebelum berguling ke jalan. Kantong belanjaan lainnya pun robek dan dia mengutuk frustrasi ketika barang-barangnya jatuh ke tanah. Rambutnya yang hitam menutupi wajahnya, tapi kurasa usianya sekitar tiga puluh tahun. Dia mengenakan gaun longgar dan memiliki sedikit tonjolan di perutnya. Mungkin dia hamil, tapi lebih baik aku tidak menanyakan hal itu.

Dua remaja putra menyeberang jalan lalu berjalan ke arah kami. Aku yakin mereka mungkin akan membantu kami. Sementara aku memunguti barang belanjaannya, mereka ternyata hanya mengambil sepatu bot lalu melangkahi sekantong sup kaleng di hadapannya.

"Apakah kamu tinggal jauh dari sini?" tanyaku pada wanita asing itu.

Dia mendongak dan menggelengkan kepalanya. "Tidak, hanya satu blok lagi," tangannya yang cokelat tua menyisip rambutnya di balik telinga dengan wajah frustrasi.

"Hmmm, oke. Mari kubantu!" Aku menunjuk ke tumpukan bahan makanan. Melihat barang belanjaan dari tas ekstranya berhamburan, aku melepaskan swimsuitku di atas kepala dan membungkuk untuk memasukkan bahan makanan ke dalamnya.

"Terima kasih," ucapnya.

Dia seperti kehabisan nafas saat membungkuk untuk membantuku, tetapi aku menghentikannya. Sebuah mobil membunyikan klakson hingga aku terkejut dan hampir menjatuhkan sebotoh minyak. Aku mendorong sebotol minyak ke sudut lenganku,

"Hufft. Tidak apa-apa, " kataku.

Wanita itu menatapku penuh curiga. Dia mulai mengawasiku sekarang. Mungkin dia tidak yakin apakah harus mempercayaiku atau tidak.

"Percayalah padaku", kataku seolah mengerti apa yang dicemaskannya.

Angin bertiup kencang berubah menjadi dingin. Aku bergerak lebih cepat setelah memasukkan semua bahan makanan ke dalam baju, lalu aku mengikat ujung lengan menyerupai tas belanjaan. Aku berdiri dan memberikan tas kaus itu. Matanya melembut. "Kau akan membuat seorang wanita sangat bahagia suatu hari nanti, anak muda." Hanya itu yang dia katakan sebelum merapikan sisa tas belanjaannya yang tidak pecah, menyesuaikan kembali sweater di lengannya, dan mulai berjalan pergi. Aku tersanjung oleh pujiannya, tetapi dia tahu betapa canggungnya diriku.

"Apakah kamu memerlukan bantuan? Aku dapat membantumu membawanya pulang?" tawarku.

Dia menggelengkan kepalanya. "Terima kasih atas bantuannya, aku bisa membawanya sendiri." Aku mendengar kata-kata yang memiliki makna sangat dalam. Ketika dia berjalan pergi, aku sadar bahwa dia sebenarnya tidak membutuhkan bantuanku - dia membawa tas dan baju hangat yang penuh dengan bahan makanan ke rumahnya. Aku pikir ini adalah metafora yang dikirim oleh kekuatan kosmik untuk menunjukkan kepadaku bahwa aku tidak harus membantu semua orang. Metafora kita tidak sama. Aku membiarkan wanita itu pergi sendiri dan melanjutkan perjalananku ke selatan menuju apartemen. 

Note:

Sorry late post, karena author sibuk kerja. 

REWRITE Nothing More (ONGOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang