Chapter 2.

106 11 0
                                    

Hari ini bukan Selasa, bukan pula Senin. Ini Minggu, hari terakhir dalam sepekan. Kepadatan pengunjung di akhir pekan membuat kedai kopi ini harus membuat kebijakan baru. Sistem shift yang berjalan selama ini dihapuskan sehingga para kru harus bekerja pada waktu yang sama, yaitu dari pukul sembilan sampai pukul dua belas malam.

Sekarang sudah hampir jam dua belas lebih empat puluh lima menit. Sistem tanpa shift otomatis membuat kami lebih cepat lelah. Untuk itu kami harus membagi jadwal istirahat. Sebelum sampai pukul dua belas malam nanti, kami harus mengoptimalkan seluruh kinerja untuk melayani pengunjung dan istirahat yang cukup.

"Hari ini lumayan juga, Bro!" ujar Aiden menepuk pundakku.

Aku menarik napas sejenak saat melihat antrian panjang di hadapanku, lalu melanjutkan ritualku kembali. Seperti kilat, aku menarik tuas tepat dua puluh depalan detik tanpa timer dan stopwatch. Lalu, aku meratakan kopi yang telah digiling halus dan menambahkan air sesuai takaran agar tidak terlalu tawar ataupun terlalu pahit.

Muse.

Kedai kopi yang sangat terkenal di kota Istanbul. Seperti yang ditulis pada sebuah artikel di dunia maya, aku setuju bahwa Muse memiliki rentang penggemar yang cukup jauh. Mulai dari bapak-bapak atau ibu-ibu kantoran sampai anak sekolahan yang datang setiap harinya. Dan beberapa malah familiar di kalangan para pegawai.

Hari semakin larut, jarum jam bergeser pada angka sepuluh malam dan sebentar lagi kedai akan tutup. Aiden dan Emma sudah lebih dulu pamit. Seperti biasanya, aku membersihkan bar, merapikan meja dan kursi, jendela-lantai, dan mematikan lampu-lampu.

Biasanya aku langsung pulang setelah membereskan bar, tapi malam ini aku berjanji kepada Nessa untuk makan malam bersama. Kedai mulai sepi, aku mengambil dua gelas plastik lalu ke meja bar untuk membuat minuman yang kusukai. Dua cups macchiatto, satu untukku dan satu lagi untuk Nessa.

Ini bukan macchiato biasa, aku menambah tiga shoot rasa hazelnut dan satu shoot rasa pisang. kedengaran tidak enak, tapi sebenarnya sangat nikmat. Aku membuatnya saat melakukan sebuah kesalahan mencampuri rasa vanilla dengan pisang. Dan itu menjadi minuman favoritku sekarang, begitu juga Nessa. Aku selalu membawa minuman itu saat kami makan malam bersama dan Nessa terkadang membawa makan malam yang masih hangat dari restoran tempatnya bekerja. Itu momen yang sangat indah bagi kami.

"Ben!"

Seruan itu membuat aku berpaling ke arah jalan raya. Sebuah skuter Vespa berhenti di depan pelataran bangunan. Dia berbalut jaket denim yang di padu dengan jeans krem. Perempuan itu merapatkan kendaraannya ke dinding pembatas lalu mematikan mesin. Tangannya meraih helm, melepaskan pelindung itu dari kepalanya. Wajahnya di hiasi dengan rambut panjangnya yang ikal memperlihatkan senyum lebar. Dia setengah berlari menghampiriku.

"Hei, sudah lama?" tanya Nessa.

"Hmm, lumayan. Ke mana aja? Aku udah lapar, tau."

"Sorry, sorry. Aku kejebak macet. Yok, kita makan." Nessa mengeluarkan dua kotak nasi dari bungkusan plastik.

"Masakan Nessa selalu enak," kataku kepada perempuan itu. "Thank ya Nes," ucapku pada Nessa setelah menghabiskan makanan tanpa sisa. Nessa membalasnya dengan senyuman.

Malam ini, shift-nya dimulai pada jam dini hari. Jadi, aku meluangkan waktu untuk lebih dekat dengannya. Bukannya aku tidak bisa tinggal sendirian di apartemen tanpanya. Itu karena aku sudah menyelesaikan tugas kuliahku untuk minggu depan dan aku belum menemukan sebuah buku yang bagus untuk menemani waktu senggangku. Bahkan aku telah menonton semua film terbaru yang ada. Dan paginya, apartemenku dipenuhi dengan bungkusan makanan yang berserakan dimana-mana. Jika sudah begitu, Nessa lah yang selalu membersihkan tempat ini untukku menikmati aktivitas di sekitar apartemen. Aku tidak suka berinteraksi dengan dunia luar, hanya berdiam diri di apartemen, juga tidak memiliki banyak teman di luar pekerjaan.

Nessa bilang, aku terlalu penakut. Seharusnya aku bersenang-senang bersama teman-teman sebayaku di luar sana. Tapi aku bahagia berada di Muse, kedai kopi tempatku bekerja sekarang ini. Kupikir, itu lebih baik jika segala sesuatu dalam hidupku baik-baik saja, sederhana dan santai. Aku melirik jam dinding dan merasa khawatir ketika kusadari hampir mendekati dini hari. Aku menghabiskan terlalu banyak waktu bersama Nessa. Tidak ada yang berkesan. Malam ini berlalu begitu begitu saja bagiku.

"Aku tinggal ya!" ujar Nessa.

"Dah, hati-hati ya!"

Skuter Nessa bergerak meninggalkan kedai kopi. Aku menyapu kembali lantai yang berserakan dan berjalan pelan-pelan untuk membuang sampah makanan ke tong sampah. Malam ini seperti tidak bersahabat denganku. Satu jam berlalu seolah mengejekku, jarum kecil pada jam tanganku terus berdetak, bergerak perlahan, dan malam ini kelihatan tidak menyenangkan. Aku memeriksa ke seluruh ruangan sekali lagi. Akulah orang terakhir yang keluar malam ini.

Dua jam berlalu, aku mengunci pintu kedai dan melangkah ke trotoar. Aku melihat sepasang remaja saling bergandengan tangan. Lelaki tinggi itu memakai kaos coklat. Aku heran, mungkin saja dia tidak menyadari dengan udara dingin akhir-akhir ini. Jika dia menyadarinya, sudah tentu dia tidak akan berjingkrak mengelilingi kota dengan kaos itu. Aku memperhatikan mereka, mengikuti dari belakang menuju apartemen sambil menelpon Mama untuk mengabarinya, aku melalui hari-hariku dengan baik di Istanbul.

Awalnya, dia sangat khawatir tentang keinginanku kuliah di kota lain. Tapi, dia menginginkanku bahagia dan kuliah bersama Aruna di sana akan membuatku sangat bahagia. Yah, hingga akhirnya kami harus berpisah tepat sebelum aku pindah ke sini untuknya. Aku tidak bisa menahannya. Tidak bisa. Karena semua itu bukanlah rencana awalku. Kupikir, aku akan pindah ke Istanbul dan kami akan tinggal bersama di apartemen. Membayangkan saat bangun tidur, aku akan memeluknya dari belakang dan mencium aroma manis rambutnya di wajahku. Kupikir, kami akan belajar bersama di sini, menciptakan momen, dan berjalan-jalan mengelilingi kota Istanbul. Aku telah berharap begitu banyak hal, aku berharap langkah ini menjadi awal dari masa depanku bukan akhir dari masa laluku.

Dia lebih memilih untuk mengakhiri hubungan ini sehingga aku memutuskan untuk mencari suasana baru. Aku bahagia dengan keputusanku karena Nessa bersamaku sekarang. Nessa bilang, dia memiliki banyak teman, tetapi mereka hanya mempermainkannya. Nessa membutuhkanku untuk selalu berada di sisinya dan kurasa aku juga membutuhkan seseorang untuk berbagi di sela-sela kejenuhanku.

Seandainya aku dihadapan dua pilihan - tinggal di sini atau pindah, aku lebih memilih untuk tinggal di sini. Itu semua karena kenangan itu. Di sini, aku tidak perlu menjadi pusat perhatian di antara mereka. Sekalipun aku harus terpuruk, aku ingin menderita sendiri. Aku tidak ingin orang lain merasa kasihan kepadaku, terutama Aruna. Rasa sakit itu telah ada. Apapun yang telah kulakukan padanya, aku tidak bisa mengembalikan keadaan ini seperti dulu. Aku harus membiarkannya pergi dan terpaksa merapikan kembali kenangan itu lalu mengenang duniaku tercabik-cabik karena kesalahan bodoh yang kulakukan. Dia bagaikan perbannya dan aku pembersihnya. Seharusnya aku menangkapnya ketika dia terjatuh dan mengikatnya dengan persahabatan atau lebih, hingga pada akhirnya aku bisa merasakan kesakitannya.

Aku terpaksa untuk melupakan kenangan itu. Menutupnya rapat-rapat lalu menguburnya dalam-dalam.

REWRITE Nothing More (ONGOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang