Chapter 4.

56 7 0
                                    

Pagi ini datang begitu cepat. Terakhir kali, aku memeriksa teleponku sekitar satu jam yang lalu. Mungkin, aku tertidur antara satu atau dua jam dan terbangun kembali pada jam enam. Berapa jam yang direkomendasikan oleh dokter setiap malamnya?

Tujuh?

Atau delapan?

Dibandingkan dengan pola tidur beberapa mahasiswa lainya, akulah yang terburuk. Aku yakin itu. Aku terbiasa begadang dan bangun lebih awal untuk kuliah dan bekerja.

Perlahan-lahan, Aku menjadi orang malas. Minum kopi setiap pagi. Duduk di bangunan kereta bawah tanah seperti pemulung. Dan berhenti menyumbang sedikit dari upahku kepada tunawisma. Maksudku bukan berhenti. Aku hanya memberikan sebagian kecil dari gajiku.

Berbeda dengan Nessa, dia sering memberikan setengah dari bonus penghasilannya kepada tunawisma. Bukannya aku tidak peduli atau tidak membantu. Aku hanya lebih suka memberikan kopi atau muffin saja bukan uang. Aku memahami alasan Nessa memberikan uang sebanyak itu. Dia percaya, mereka akan membeli makanan dan sedikit kebutuhan lainnya. Temanku dan Nessa memiliki hubungan pribadi dengan tunawisma. Ayah Nessa tidak memiliki apa-apa dalam hidupnya hingga akhirnya menjadi seorang tunawisma sebelum kematiannya kurang lebih setahun yang lalu. Itu sangat sulit bagi Nessa dan kupikir membantu mereka yang tidak mampu bisa menyembuhkan sebagian kecil dirinya.

Dia memberikannya dengan sebuah senyuman dan terima kasih. Nessa tipe orang yang mencoba untuk berbagi kebaikan. Dia memberi lebih dari apa yang didapatkannya dan berharap orang-orang menjadi baik, sekalipun mereka seorang penjahat.

Dia mendapatkan kepuasan saat mereka mengucapkan terima kasih, atau ketika melihat tunawisma membeli makanan. Kupikir, dia ingin memperbaiki apa yang tidak bisa dilakukannya dulu. Mungkin, dia tidak bisa membantu ayahnya tetapi dia bisa membantu orang-orang itu.

Aku tahu, itu terlalu naif. Tetapi dia adalah sahabat terbaikku dan akhir-akhir ini, dia melibatkanku dalam kegiatan amalnya. Hampir setiap malam dia tidak tidur, mata abu-abunya bengkak. Dia berjuang untuk mengatasi semua permasalahannya sendiri, kematian ayahnya, mengadu nasib di tempat baru dan tidak bisa lulus di kampus favoritnya.

Seandainya bisa, ingin rasanya kuambil semua beban itu darinya agar dia tidak perlu merangkak sendiri untuk menata hidupnya.

Aku ingat, pertama kali bertemu dengannya setahun yang lalu, dia sangat berbeda. Memiliki rambut pirang cantik dengan mata yang indah dan suara yang lembut. Aku seperti telah menemukan diriku didalamnya.

Aku pernah sekelas dengannya di hari pertama kuliah. Dan setelah itu, Nessa dan aku semakin dekat, bahkan dengan keluargaku.

Aku berjalan ke dapur lalu melihat Nessa duduk di meja makan. Dia merapikan semua benda-benda yang ada di dalam sebuah kardus kecil yang telah robek.

"Pagi," sapaku sambil menyalakan mesin Nepresso. Aku telah menjadi pecandu kopi sejak bekerja di Muse. Aku menyukai rasa pahit pada setiap teguk yang kuminum.

"Pagi." Nessa masih menatap layar teleponnya.

Aku mengambil cup espresso. Dapur ini telihat sempit karena mesin espresso mengambil separuh ruang dari kulkas dan microwave. Tapi seandainya aku harus memilih, lebih baik kusingkirkan kulkas daripada mesin espresso.

"Kamu ingin membuang semuanya?" tanyaku saat memandangi beberapa buku di dalam tong sampah.

"Yep," jawabnya tanpa melihat ke arahku.

Aku meraih buku itu dan terus mengawasinya untuk memastikan dia tidak memperhatikanku. Aku membuka laci lemari dan meletakkan buku itu ke dalam. Kurasa, dia akan menyesal jika membuangnya. Aku hanya menyimpan saja untuk berjaga-jaga jika dia menginginkan buku kenangan itu suatu hari nanti.

Aku melirik cangkir kopi di hadapannya. Kosong.

"Lagi? Kamu kerja hari ini?" tanyaku sambil bersandar di meja.

Dia menghela napas, mengangkat teleponnya dan meletakkan kembali.

"Yea."

Matanya merah dan bengkak. Tapi aku tidak mendengarnya semalam. Dia memang handal dalam menyembunyikan perasaannya.

"Kerja atau kopi lagi?"

"Please." Nessa berdeham, dan aku menyuguhkan secangkir espresso lagi.

"Kapan Hardin ke sini?" tanyanya padaku. Dia tidak pintar dalam menyembunyikan emosinya, terutama saat melibatkan Hardin, mantan pacarnya.

Aku menggelengkan kepala. Hardin tidak memberitahuku kapan tepatnya dia berencana ke sini. "Belum. Kami baru saja bertemu minggu lalu dan dia tidak menceritakan apapun," kataku sambil mengelus-elus jariku di dagu.

"Kamu baik-baik saja, kan?"

Nessa tersenyum paksa, "umm, aku baik-baik saja."

"Ok."

Aku meletakkan cangkir espresso Nessa ke dalam kulkas lalu membuat satu cup lagi untukku. Mesin terdengar lebih keras dari biasanya dan kepalaku sedikit berdenyut menahan kebisingan.

Tiga menit kemudian, aku membuka kembali lemari es. Uap dingin mengepul dari cangkir espresso.

"Aku... menambah jam kerjaku." Suaranya sedih seperti orang yang sedang patah hati.

Dadaku terasa sesak saat mendengarnya. Kesepianku tidak begitu buruk dibandingkan dengan apa yang dialaminya

"Jika kamu ingin bercerita, aku di sini untukmu."

"Aku... baik-baik saja. Sudahlah, aku baik-baik saja."

Dia berbohong. Aku tahu itu. Aku tidak bisa memaksanya bercerita, jika dia tidak ingin. Terkadang kita harus membiarkan seseorang merasakan apa yang mereka butuhkan. Aku tidak bisa mengabaikan rasa sakitnya hanya karena aku tidak merasakannya.

"Jika kamu butuh sesuatu. Telepon aku. Aku jogging di sekitar sini," jelasku sambil meraih cangkir espresso-ku. Meniupnya. Lalu meneguk perlahan-lahan.

"Aku... baik-baik saja." Dia bernapas lega, berjuang untuk menyakinkan dirinya sendiri.

Aku meletakkan cangkir kecil itu ke wastafel lalu mengambil sepatu sport-ku dibelakang pintu dapur.

REWRITE Nothing More (ONGOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang