Chapter 3.

69 7 0
                                    

Sebuah paket tergeletak di depan pintu masuk. Nama Nessa tertulis di atasnya dengan spidol hitam. Aku memutar lubang kunci dan menendang kotak itu ke dalam. Lampu masih padam. Sepertinya Nessa belum kembali.

Aku harus mandi, pikirku.

Seharian berkutat dengan rutinitas, membuatku penat dan ingin segera istirahat tapi aku harus menyelesaikan tugas kuliah untuk besok. Berulang kali aku memanggil nama Nessa untuk memastikan keberadaannya sebelum melepaskan pakaian di ruang tamu. Di balik kamar mandi, terdengar air merembes dari gagang shower, padahal sudah dua kali diperbaiki oleh teknisi, tapi airnya tetap merembes.

Nessa juga pernah mencoba memperbaikinya. Tapi malah tubuh dan bajunya basah. Aku tertawa sendiri membayangkan sekujur tubuhnya basah kuyup seperti mandi hujan dan betapa gilanya saat dia berpikir mampu memperbaikinya sendiri.

"Selesai," ujarnya sembari memutar baut. Lalu, dia menghidupkan kembali kran shower, akan tetapi air masih saja merembes dari lubang gagang lalu menyemproti wajahnya. Dia berteriak seperti "kemalingan", dan berlari menyusuri lorong apartemen hingga tersandung kakinya sendiri lalu terjatuh.

Dengan sigap, aku memopong Nessa ke ruang tamu lalu melangkah ke kamar mandi untuk menutupi lubang air dengan pipa kecil. Perlahan, aku membersihkan luka pada lutut kanan dan siku kirinya. Hatiku seketika menjadi hangat, tetapi juga perih. Senyumku menguap, sedikit canggung seolah-olah aku melihat Derya kembali.

Tepatnya tiga tahun yang lalu. Dan sekarang, aku tidak pernah tahu lagi bagaimana perasaannya kepadaku. Aku tidak berpikir dia mulai tidak nyaman denganku. Dia juga tidak memiliki alasan yang jelas. Bagiku, terasa sangat aneh memang karena hampir setiap hari dia menelponku walaupun hanya sebatas kata "hello" saja.

Terkadang aku sangat merindukannya, Aku tidak pernah bertemu dengannya lagi semenjak pindah ke Istanbul, tapi kami masih sering berbicara melalui telepon. Ketika jarak diantara kami semakin jauh, aku semakin merindukannya. Seharusnya aku tidak perlu mengatakan sesuatu yang telah selesai. Aku berharap dia bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya, dan menemukan teman-teman yang akan mengubah hidupnya. Aku tidak ingin menjadi penganggu baginya lagi.

Aku telah berusaha menjadi pasangan terbaik untuknya. Aku tetap bersabar, walaupun pada akhirnya dia memberi alasan untuk mengakhiri hubungan ini. Aku mengangguk sambil berkata aku baik-baik saja, seolah-olah aku sangat memahami alasannya. Tapi, sebenarnya aku telah berbohong, aku tidak mengerti mengapa dia tidak meluangkan sedikit waktu untuk mendengarkanku.

Aku rindu mendengar tentang hari-harinya. Aku ingin sekali mendengar lelucon konyolnya seperti yang dilakukannya di kelas dulu. Aku rindu mendengarkan ocehannya saat antrian panjang untuk membeli tiket konser. Lalu, semuanya berubah saat aku mengetahui Derya mendekati Pram. Tapi aku masih merindukannya.

Aku memutar kran shower. Airnya sangat dingin saat menyentuh kulitku. Untuk menyesuaikan kadar air, aku menyetelnya menjadi sedikit lebih hangat. Kamar mandi ini berukuran kecil dengan satu wastafel berderit di dekat toilet yang aku sendiri hampir tidak muat di dalamnya. Siapa pun yang merancang apartemen ini tidak di desain untuk pria dengan setinggi enam kaki karena harus menunduk saat memasuki kamar mandi.

Air hangat mengalir di punggungku, sekilas aku berpikir bagaimana perasaan Nessa mengenai hubungan ini. Apakah dia memperhatikan tubuhku telah berubah sejak terakhir kali dilihatnya? Atau apakah dia melihat lenganku telah berubah menjadi otot-otot yang tebal dan perutku akhirnya menjadi six pack?

Dulu tubuh pendekku sering menjadi trending topic di setiap lorong-lorong sekolah. "Cebol" begitulah mereka memanggilku. Nama panggilan kekanak-kanakan yang terdengar luar biasa bodoh sekarang. Beberapa anak-anak yang lain seperti sengaja berjalan di belakangku sambil mengolok-olok. Dan itu hanyalah segelintir banyaknya api neraka di sekolah.

REWRITE Nothing More (ONGOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang