Chapter 8 (edited)

40 5 0
                                    

Harum. Aku mencium aroma vanilla yang kental. Perlahan-lahan, aku berjalan ke dapur. Hatiku seketika menjadi hangat, tetapi juga perih. Senyumku menguap. Rumah kecilku selalu penuh dengan aroma kue terbaik buatan ibu.

Aku melemparkan kunci ke meja kayu, lalu wajahku sedikit berkerut saat serpihan kayu terkelupas. Ibu memberiku meja kayu itu ketika aku pindah ke Bandung. Itu senuah hadiah dari nenek dan dia merawat apa pun yang berhubungan dengan ibunya. Selain itu, dia tidak memiliki apapun yang tersisa, terutama setelah Hardin menghancurkan semua kabinet yang penuh dengan figura berharga. Dia bahkan tidak memiliki meja ini, karena bibi mengirimkannya kepadaku sebagai hadiah penghangat rumah.

Nenekku wanita yang cantik, kata Ibu. Meskipun aku hanya memiliki satu memori tentang wanita itu. Yah, aku berumur sekitar enam tahun saat itu dan dia memergokiku mencuri segenggam kacang dari toko di pasar kota. Di pertengahan jalan pulang, dia dia melirik ke kaca spion, lalu memergokiku sedang mengupas sekantong kulit kacang di kursi belakang. Aku tidak ingat mengapa aku mencuri kacang itu. Dengan secepat kilat, dia membanting stir mobil kembali toko itu lagi.

Dia mengemudi tanpa memperhatikan rambu-rambu lalu lintas, mengabaikan bunyi klakson dari pengemudi yang marah-marah. Dia memarkirkan di tepi jalan, lalu didorongnya pantatku untuk masuk kembali ke toko itu. Dia menyuruhku untuk mengakui apa yang telah ku lakukan dan meminta maaf tidak hanya kepada petugas, tetapi juga kepada manajer. Aku merasa terhina dan berjanji tidak akan mencuri lagi. Mariolin -- namanya dan dia meninggal saat aku masih di bangku SMA.

Berliana – bibiku seorang janda polisi. Aku selalu suka bermain bersama suaminya. Jeb --Dia lucu dan mendengus ketika tertawa dan dia selalu datang dengan lelucon konyolnya. Aku sudah menganggapnya seperti ayahku sendiri.

Hingga hari ini, aku ingat jeritan nyaring Berliana melalui lorong-lorong rumah di peternakan kecil kami. Seketika wajah ibuku berubah pucat, dan tangannya gemetar sambil berkata, "semuanya baik-baik saja, kembali tidur sayang."

Kematian Jeb membuat semua orang berduka, terutama Berliana. Dia hampir menjual rumah karena kesedihannya. Dia tidak lagi tertarik pada kehidupan. Dia tidak melakukan apapun, dan juga tidak merawat anaknya dengan baik. Rumor yang beredar bahwa Berliana memberikan semua uang dari kematian Jeb kepada putri sulungnya dari pernikahan sebelumnya.

Aku belum pernah bertemu dengannya, karena mereka memilih pindah ke Jakarta setelah nenek meninggal. Kematian nenekku tampaknya membawa pengaruh besar bagi Berliana. Dia mengunjungi tempat kediamanku, untuk memperingati kematian ibunya dan meja ini adalah satu-satunya hal yang ditinggalkan kedua saudara perempuan dari ibu mereka.

"Halo?" Suara Nessa dari dapur membuyarkan lamunan yang berenang di kepalaku.

Aku membungkuk lalu melepaskan sepatu sebelum menginjak lantai kayu tua berwarna coklat. Nessa menghabiskan waktu selama dua puluh menit di setiap minggu untuk membersihkan lantai di apartemen kami, dan sejak saat itu aku belajar untuk tidak memakai sepatu di dalam apartemen.

"Halo?" Dia mengulangi, suaranya lebih dekat sekarang. Ketika aku melihat ke atas, Nessa berdiri beberapa meter dariku. "Kamu... Kamu membuatku takut," katanya, matanya menatapku.

Dia mulai gugup sejak seseorang masuk ke apartemen sebelah minggu lalu. Memang, dia tidak mengatakan apapun, tapi aku bisa memahami dari pandangannya yang gugup setiap kali mendengar derit sepatu di ambang pintu.

Aku menghampiri Nessa yang mengenakan kaus dan celana legging hitamnya, "Kamu baik-baik saja?" tanyaku padanya. Cekungan gelap di bawah matanya semakin tebal karena hampir setiap malam dia menangisi kehidupannya.

"Ya, tentu saja," senyumnya sambil duduk. "Kami sedang memanggang," suaranya berubah menjadi tawayag nyaring. "Aureel juga ada di sini, di dapur," tambahnya, menunjuk ke arah dapur.

"Yap!" Aureel berteriak dari dapur. Nessa menoleh ke dapur dan kembali menatapku. Lalu mengisyaratkan padaku agar mengikutinya ke dapur.

Aroma vanila menyeruak lebih kuat pada setiap langkahku. Nessa berjalan mendekati oven, setidaknya ada sepuluh loyang ditumpuk di atas satu sama lain di ruang kecil ini.

"Hari ini, kami mengambil alih dapurmu," lanjut Aureel dengan semangat.

Mata hijaunya menatap ke dalam bola mataku sejenak sebelum mengedip matanya ke arahku. Dia berdiri di depan sepetak tanah di sudut dapur yang telah kami improvisasi menjadi taman Acenue.

Aku memperhatikan kue empat tingkat, dicat ungu dan ditutupi bunga-bunga ungu dan putih besar. Bagian tengah bunga berwarna kuning, ditaburi dengan glitter. Kue itu terlihat hampir nyata karena betapa detailnya setiap lapisan-lapisannya. Bunga-bunga permen terlihat seolah-olah bersinar di bawah cahaya lampu.

Sebuah tawa kecil terdengar dari Aureel dan aku menatapnya sambil mengeryit kening berusaha mencari jawaban atas tawanya. Semua adegan itu buyar ketika seseorang mengetuk pintu apartemen. Dan Nessa beranjak mendekati pintu.

"Sangat cantik, kan?" tanya Nessa menyenggol pinggul Aureel dengan spatula.

Nessa tersenyum lalu dia meninggalkan dapur untuk membukakan pintu. Aku bahagia melihatnya tersenyum.

"Apa?" tanyanya dengan kening mengeryit karena tertangkap basah sedang memperhatikannya.

"Gak ada," balasku sambil mengangkat bahu.

"Mau ikut ngopi malam ini?"

"Ye...ah, O...kay!" Jawabku terbata-bata. "Oya, emang dimana?" tanyaku lagi.

"Aku belum tahu sih!" Dia mengeluarkan teleponnya dari saku belakangnya dan mengusap jari-jarinya di atas layar. Teleponnya mulai memainkan lagu dari seorang penyanyi yang kukenali. "All I want -- Kodoline? Aku tidak menyangka kamu menyuka lagu itu?" godaku.

Lalu dengan cepat dia mengabaikan panggilan itu.

Teleponnya mulai berdering lagi dan Aureel segera menggesek untuk mengabaikan lagi. Rasanya ingin kutanya kepadanya tentang hal itu, hanya untuk memastikan dia baik-baik saja. Aku tidak tahan melihatnya uring-uringan. Itu menjadi semacam kebiasaanku, memastikan semua orang baik-baik saja. Sebelum aku bertanya lebih lanjut tentang permasalahan Aureel, Nessa berjalan kembali ke dapur diikuti oleh seorang pria muda yang mengenakan rompi kerja merah dan sabuk utilitas.

"Dia di sini untuk memperbaiki pembuangan sampah," jelasnya. Pria itu tersenyum padaku.

"Emangnya kita punya tempat pembuangan sampah?"

Aureel dan Nessa saling memandang seolah-olah mereka menggunakan mata mereka untuk mengatakan "Oh man!"

Disela-sela keheningan antara kami bertiga, telepon Aureel kembali berdering. Diambilnya telepon di atas meja lalu dimatikannya. Matanya tertutup sambil menghela nafas panjang. Itu suara yang sangat melelahkan.

"Aku harus pergi," katanya.

Dia memasukkan teleponnya ke dalam saku jaket yang tergantung di belakang kursi. Lalu memakai jaketnya dan melangkah pergi. Aku bergegas membukakan pintu untuknya.

"Tunggu sms dariku," bisiknya.

Sesaat stelah Aureel menghilang, Nessa memicing matanya sepertinya dia mencurigai tingkah mereka.

"Ngomongin apa tadi?" Dia dengan malas bertanya. Aku sudah terbiasa dengan sikapnya yang seperti itu.

Aku mengusap daguku, sedikit menarik-narik jenggotku yang tumbuh di sana. Aku mengangkat tanganku, "Tak ada yang penting."

Note:

Sorry for late update

REWRITE Nothing More (ONGOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang