Chapter 10

19 3 0
                                    

Buku berserakan di atas tempat tidur, bersamaan bantal dan guling terhempas di lantai. Di atas tempat tidur yang sama, aku mendekap di balik selimutnya dengan posisi terlentang. Laptop yang tergeletak di atas meja masih menyala hingga pagi datang. Kamarnya lebih mirip kapal pecah. Lampu tidur yang redup. Lemari tidak terkunci, lalu ada pula baju, jeans, dan celana dalam di sudut-sudut kamar.

Sayup-sayup, terdengar suara sepatu menaiki tangga, mendekati kamarku. Tanpa mengetuk pintu, Nessa menerebos masuk. Berhenti di ujung pintu, sebelah tangannya memegang gagang pintu dan sebelahnya lagi menopong di pinggangnya. Dia menggeleng-geleng kepala saat melihatku masih tertidur pulas. Perlahan-lahan, dia mendekati jendela kamar, lalu membuka lebar-lebar tirai penutup jendela.

"Ben!!!" serunya setengah kesal. Alisku berkerut, kedua mataku menyipit saat menghalaukan cahaya yang masuk ke ruangan. Aku kembali menarik selimut hingga menutupi kepala. Nessa menghampiri tempat tidurku. Dengan sigap, dia menarik selimut hingga jatuh ke lantai.

"Apaan Nes? Jam berapa sekarang?" tanyaku sembari sambil mengaruki kepala yang dirasakannya tidak gatal.

"Jam sepuluh."

"Apaaa?? kenapa nggak bangunin aku? Gawat, gawat..." Mataku mendelik seolah tidak percaya. Mendadak, ekspresi wajahku menyirat kecemasan. Mulai khawatir berlebihan. Aku melompat bangkit dari tempat tidur, beringsut masuk ke kamar mandi. Nessa hanya bisa mengeleng-geleng kepala melihat tingkah lakuku.

"Pagi semuanya!" ucapku saat memasuki Muse.

"Pagi apaan? Siang keles," jawab emma di belakang dapur menuangkan ember es ke tong sampah. Di sudut kanan ruangan ada Lana, karyawan tertua di Muse sedang mengepel lantai bernoda dengan ekspresi bosan di wajahnya yang sudah lapuk. Dia mencelupkan pel ke dalam ember dan air sabun mengalir ke lantai. Seorang gadis kecil bangkit dari meja di bagian belakang dan berjalan ke arah Lana saat dia memeras air kotor di dalam ember.

Rambut coklat keriting gadis kecil itu tertata seperti helm. Aku memperhatikan ke sekeliling ruangan. Dari sepuluh meja, hanya dua meja yang di tempati oleh dua gadis dengan laptop dan buku teksnya memenuhi meja dan seorang lelaki dengan empat cangkir espresso kosong. Diam-diam Emma memperhatikanku dan membuatku tersenyum.

Gadis kecil itu, usianya sekitar empat tahun, duduk di lantai dan mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah roda mobil merah kecil melintasi genangan air dan aku menyaksikan matanya bersinar. Sepertinya Lana mengatakan sesuatu kepada gadis itu yang tidak bisa kuketahui.

"Arsyi, tolong jangan lakukan itu," Emma melangkah keluar dari belakang meja. Dia mendekati gadis itu dan membungkuk.

Gadis kecil itu meraih mobil merah sebelum Emma mengambilnya. Dia memeluk mobil itu di dadanya dan menggelengkan kepalanya dengan marah.

"Mobil Arsyi..." suara kecilnya berbunyi.

Emma mengulurkan tangan dan menangkupkan pipinya. Ibu jarinya membelai kulit gadis kecil itu dan kepanikannya berubah menjadi kenyamanan. Dia pasti akrab dengan Emma.

Adiknya, tentu saja. Gadis kecil berambut coklat itu harus sering berbicara dengan saudara perempuannya. "Kamu bisa menyimpan mobilnya, tapi tolong jangan dorong di air", kata Emma melembut.

"Oke?" Ema mengetuk hidung gadis kecil itu dan dia terkikik.

"Ya," suara kecilnya berbunyi bahkan lebih manis.

Aku pindah duduk di meja terdekat dengan Arsyi saat Lana menyelesaikan sapuan pel terakhir sebelum dia masuk ke ruang stok untuk mengecek stok bahan baku.

"Tolong jangan beri tahu Aiden karena aku membawanya ke sini," Emma meluncur ke kursi di depanku.

"Aku tidak akan pernah," kataku sambil tersenyum.

REWRITE Nothing More (ONGOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang