Prolog

58.4K 4.4K 153
                                    

Surakarta, 23 November 1997

Langit mulai gelap, sedangkan butiran-butiran langit mulai turun tanpa bisa di jeda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langit mulai gelap, sedangkan butiran-butiran langit mulai turun tanpa bisa di jeda. Langkah kaki kecil terus menapak, tidak peduli penerangan nyaris hilang karena adanya pemadaman bergilir di jalan yang ia lalui.

Semakin lama, butiran kecil dari langit menubruk tubuhnya dengan tak beraturan. Hujan deras, tetapi ia tidak pernah peduli untuk sekedar berteduh. Tidak ada yang akan peduli jika dirinya sakit, bahkan jika hilang sekalipun.

"Papa! Kakaknya hujan-hujanan, aku nggak boleh."

Lagi-lagi, dia melihat hal yang tidak pernah ia inginkan lagi. Seorang pria dewasa yang sedang berbagi payung dengan gadis kecil, mungkin sekitaran empat tahun. Hal sederhana yang bahkan belum sekalipun ia rasakan.

Rasanya, ia ingin berlari dan menghindar saja, begitu ia tahu payung raksasa dan pemiliknya mulai berjalan ke arahnya. Tetapi, tiba-tiba langkahnya begitu berat.

"Nak, sudah malam. Masih pakai seragam, kenapa hujan-hujanan? Nanti sakit lho."

Dia hanya terdiam, begitu payung raksasa mulai melingkupinya, melindunginya dari serangan air yang turun dari langit.

"Mau ke rumah kami dulu? Saya punya coklat hangat dan baju kering untuk kamu. Nanti saya antar kamu pulang."

Detik itu juga, jantungnya kembali berdebar menenangkan, dingin yang menusuk tubuhnya tiba-tiba menghilang. Mungkin ini adalah reaksi alamiah dari perhatian yang sudah lama tidak ia rasakan.

"Nama kamu siapa?"

Merasa tidak enak karena terus diam, ia menjawab dengan gumaman pelan. "Samudera."

Lagi-lagi, gadis kecil itu berceloteh. "Namanya kayak laut ya Pa."

Pria itu mengusap pelan puncak rambut anaknya. "Beda, nama kakaknya itu lebih besar dari laut."

Diam-diam, Samudera terus memperhatikan interaksi antara ayah dan anak itu. Diam-diam pula, matanya memancarkan sendu, karena ia tak pernah merasakan perhatian sekecil itu. Hingga ia nyaris saja terpeleset genangan air, jika lengan besar itu tidak menahannya.

"Hati-hati, Mas Samudera. Jalan licin. Lagi pemadaman bergilir juga, jadi gelap. Jangan jauh-jauh dari Om, nanti kamu bisa jatuh."

Samudera hanya bisa terdiam kaku, begitu laki-laki itu menggandeng tangan kecilnya. Sedangkan tangannya yang lain memegang payung sambil menggendong anak perempuannya.

Mereka terus berjalan hingga berada di depan rumah mungil bercat kuning pucat. Sekali lagi, ia hanya bisa terdiam kaku, begitu tuan rumah mempersilakan untuk masuk.

AequalisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang