Day-3

24.3K 3.1K 66
                                    

Segalanya, tak semudah yang terpikirkan.
****
Aequalis
Keping Ketiga
***

Hari ini, sama melelahkannya seperti kemarin, setidaknya itu yang berada di pikiran Rivera. Korban semakin banyak sedangkan petugas medis masih terbatas. Sekarang, ia bukanlah petugas farmasi yang berada di bawah naungan resmi suatu lembaga, sejak bencana membuat segalanya porak poranda, ia berdiri dengan namanya sendiri. Meskipun secara pribadi ia bekerja sama dengan perusahaan tempat Papanya bekerja dulu, segalanya lebih kepada panggilan hati.

Terhitung sudah lebih tiga puluh kali bercuap tentang bagaimana cara penggunaan obat yang benar kepada tiap korban-korban baru yang kebetulan dia rawat, ia sama sekali tidak merasa lelah untuk berbicara. Melihat tatapan sendu, bercampur dengan harapan yang hancur, sebenarnya air matanya ingin luruh. Karena, tak sedikit dari mereka yang dengan lapang bercerita, bahwa sanak saudaranya belum di temukan. Tetapi, sebisa mungkin ia harus bisa menenangkan dan memberi semangat, sebab luka hati dapat terbalut karena rasa peduli.

Rivera menyiapkan berberapa obat menurut resep dokter yang baru saja diberikan. Tetapi, melihat si pemilik obat menatapnya dengan mata berkaca-kaca, ia menjadi urung.

"Ada apa, Bu?"

Setelahnya, tangis wanita yang masih cukup muda itu pecah. Sedang Rivera memilih memberi wanita itu pelukan hangat.

"Suami saya, sampai sekarang belum ditemukan. Bagaimana mungkin, saya bisa dengan lapang menerima semua ini, disaat separuh jiwa saya pergi?"

Rivera menghela napas, merasa prihatin akan segala kejadian yang baru saja terjadi. Sekali lagi, bencana ini menorehkan luka dalam bagi setiap korban.

"Ibu harus tetap sehat, Suaminya pasti nggak suka kalau Ibu seperti ini."

Wanita dihadapan Rivera mulai mengurai pelukan. Sedang setelahnya, Rivera mengambil obat-obatan yang akan diserahkan.

"Ada tiga obat ya, Bu. Pertama ada salep anti nyeri, oleskan saja tiga kali sehari di bagian yang sakit. Ada obat minum juga untuk anti nyerinya, ini--" Rivera menunjuk salah satu blister obat. "diminum dua kali sehari, satunya lagi untuk pelemas otot, diminum dua kali sehari juga. Semuanya sesudah makan ya, Bu."

Wanita itu mengangguk pelan. "Terimakasih, saya jadi merepotkan."

Cepat-cepat Rivera menambahkan. "Dengan senang hati, ini semua sudah menjadi tugas kami. Semoga lekas sembuh."

Tepat saat pasien terakhir meninggalkan tenda, terdapat suara ribut-ribut di luar. Rivera bergegas keluar begitu terdapat kerumunan orang yang begitu ramai.

"Medis! Tolong!"

Setelahnya, tubuh Rivera terdorong ke arah kerumunan, sehingga ia bisa melihat jelas, penanggung jawab utama proyek PLN Peduli lingkup Jawa Tengah dan sekitarnya, sedang berbaring tidak berdaya.

"Pak Samudera terkena reruntuhan bangunan ketika memindahkan tiang listrik yang ambruk."

Rivera panik. Dia sama sekali bukan dokter yang bisa dengan cepat memberikan wewenang apa yang harus dilakukan dalam kasus kegawatan. Ia hanya kebetulan berdiri disini hanya karena ingin tahu penyebab suara ribut yang nyaris membuat atensinya hilang, meskipun ia tahu apa saja yang harus dipastikan  pertama kali pada kasus emergency.

Samudera terbaring pada tandu sederhana. Laki-laki itu terlihat sangat kesakitan. Rivera bisa melihat banyak sekali luka yang terdapat di tubuh laki-laki itu. Pada akhirnya, Rivera mendekati pemuda itu dengan hati-hati. Samudera memengang lengannya erat, dan Rivera yakin luka di lengan kiri pemuda itu, sepertinya bukan luka ringan.

AequalisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang