Day - 18

16.7K 2.6K 149
                                    

Bagaimana jika rasa nyaman perlahan merasuk ke dalam hati?
****
Aequalis
Keping 18
****

Rivera merasa enggan membuka mata, meskipun rasa aneh menjalari tubuhnya, sejak kapan tidur dengan posisi duduk bisa senyaman ini?

Terakhir kali yang dia ingat, bahu kakaknya tak pernah sekeras ini, apalagi Papanya. Meski begitu, Rivera masih nyaman-nyaman saja. Mungkin karena tubuhnya benar-benar lelah. Masih dengan posisi setengah sadar, ia menyamankan kepalanya sendiri, mendekatkan tubuhnya ke leher si pemilik bahu hingga kembali merasakan kenyamanan untuk kembali terlelap. Namun, sedetik setelahnya, kesadarannya di ambil paksa. Kakaknya berada di Jawa. Sedangkan Papanya berada di Surga. Lantas, siapa pemilik bahu yang bisa membuatnya terlelap?

Dengan paksa, ia membuka mata yang masih terasa berat. Benar saja, menunduk membuatnya berhadapan dengan dada bidang dan perut rata yang terbalut kemeja lusuh,  sedangkan mendongak membuatnya melihat rahang tegas, juga jakun yang naik turun dengan teratur.

Astaga Rivera!

Dengan cepat ia mendorong dirinya menjauh, namun yang terjadi ia terjatuh dari bangku.

Double sial dan benar-benar memalukan!

"Kamu nggak papa?"

Rivera hanya meringis menahan sakit pada pinggulnya. Namun tak menolak ketika tangan kokoh itu membantunya berdiri meskipun rasanya ia ingin berganti muka sekarang. Bagaimana mungkin ia masih bisa berhadapan dengan Samudera atas apa yang terjadi?

"Kamu tiba-tiba tidur, lelap banget. Saya nggak tega bangunin."

Rivera menatap tautan tangannya dengan gelisah. Tidak tahu bagaimana harus menanggapi Samudera, sementara laki-laki itu terlihat menahan tawanya.

"Ada yang lucu ya, Pak?"

Samudera menggeleng. "Nggak ada, sebaiknya kamu istirahat, lalu tidur, pembicaraan kita bisa disambung lain waktu."

Mata Rivera membelalak tidak percaya, perbincangan lain waktu, berarti dia akan kembali bertemu dengan Samudera, itu buruk! Karena ia tidak mengerti kenapa dia tiba-tiba canggung jika berhadapan dengan laki-laki itu.

"Sekarang saja, nggak papa."

Samudera menggeleng tegas, "Nggak, kamu terlihat lelah, lebih baik besok. Kita masih punya banyak waktu. Saya nggak mau, ketika saya ngomong lagi, jawabannya adalah dengkuran halus kamu."

Rivera merasa kedua pipinya panas. Kemana harus semalu ini? Padahal di hari-hari lalu, tanpa sungkan Rivera mengajak laki-laki itu berdebat. Pada akhirnya, gadis itu hanya bergumam lirih. "Maaf."

Ia merasa bersalah, sungguh. Tidur tiba-tiba, bersandar pada seseorang yang bahunya bahkan sedang sakit, ia juga hampir membuat gosipnya sendiri, karena orang-orang yang melihat pasti akan berpikir macam-macam.

Namun, yang terdengar adalah suara tawa Samudera. "Kamu lucu, kenapa harus meminta maaf?"

Memang, Rivera terlihat sedang melawak, sehingga laki-laki itu bisa tertawa?

Rivera menghela napas kasar, "Kepala saya... Kepala saya... pakai bahu Pak Samudera yang masih sakit, apalagi kalau ada orang-orang yang lewat, pasti mereka akan salah paham."

Samudera berdeham, sedang laki-laki itu sedang menggaruk tengkuknya. "Bersandar maksud kamu?"

Ya nggak usah diperjelas juga!

Pipi Rivera terasa semakin panas. Sedangkan ia sudah kehilangan kata-kata.

"Kita sama-sama lelah, lebih baik istirahat."

AequalisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang