Day 10

19.3K 3K 102
                                    

"Kenapa rasa bisa hadir dalam sebuah hati? Karena Tuhan menciptakan hati dengan sebuah arti."
****
Keping 10
Aequalis
****

Samudera tidak pernah merasa segila ini. Bagaimana mungkin dia merasa darahnya mengalir cepat hanya karena melihat Rivera berbincang dengan Dean? Pasti ada yang salah dengan dirinya.

Kenapa Samudera harus kesal jika Rivera mengandalkan Dean?

Kenapa Samudera kecewa, karena setiap Rivera ada didekatnya, ia tak pernah menemukan gadis itu tertawa selepas saat gadis itu bersama Dean?

Memikirkannya membuat Samudera pusing. Apalagi ketika Rivera yang terlihat sungkan pada dirinya.

Ia memandangi luka di telapak tangan yang mulai mengering. Harusnya ia tak terlalu membutuhkan Rivera lagi, tetapi kenapa dia harus mencuri pandang untuk mencari gadis itu? Bahkan lengannya sudah tidak merasakan nyeri. Mungkin cideranya sudah pulih. Sedang Samudera sudah gatal untuk melakukan aktivitas berat yang sudah lama tidak ia lakukan.

"Dari pemeriksaan saya, cidera Pak Samudera sudah sembuh. Cuma, jangan lakukan aktivitas terlalu berat dulu. Untuk luka di telapak tangan juga sudah bagus, tidak bengkak lagi, dan sudah mulai kering."

Samudera mengangguk singkat, namun netranya terikat pada Rivera yang sedang bersama satu anak kecil. Terlihat berbincang dan sesekali tertawa, bahkan Rivera memeluk erat anak itu tanpa sungkan, membuat Samudera terpaku untuk berberapa saat.

"Saya tinggal dulu ya, Pak Samudera. Saya mau cek kondisi pasien lain."

Bahkan suara dokter Ando sama sekali tidak Samudera pedulikan.

"Pak Samudera! Hari ini--"

Dean terdiam begitu melihat arah pandang Bos-nya. Diam-diam laki-laki itu mengulum senyum jahil.

"Ada Rivera ya? Bolehlah, setelah ini ajak makan bareng." celetuk Dean tiba-tiba.

Sedetik setelahnya, Dean mendapat delikan tajam dari Samudera. "Mau apa kamu?"

Dean menyerahkan berkasnya pada Samudera. "Perbaikan sudah mencapai 95% untuk radius dua puluh kilometer. Besok kita jalan-jalan ke kecamatan lain, Pak. Eh maksudnya besok sudah pindah ke kecamatan lain."

"Tempat posko masih tetap, kan?"

Dean semakin menarik senyumnya. "Ya masih dong, Pak! Kalau pindah-pindah jadi ribet nanti. Memang kenapa sih?"

Samudera masih saja memasang wajah angkuhnya. "Nggak papa. Balik kerja kamu!"

Sambil mengambil kembali berkasnya, Dean terang-terangan berjalan ke arah Rivera. "Sebentar, Pak. Mau tanya obat pegal sama pakarnya." katanya sambil menunjuk Rivera.

Tentu saja tanpa pikir panjang Samudera mengekor dibelakang Dean. "Sekarang, Dean."

Dean mengendikan bahu, kemudian berbisik pelan pada Samudera. "Nggak usah gengsi. Sudah saatnya kembali membuka hati."

Samudera mendengus, tetapi Dean membalasnya dengan tawa ringan. Begitu Dean pergi, Samudera menjadi canggung sendiri. Kenapa dia harus terpancing Dean untuk menghampiri Rivera?

"Ada apa, Pak Samudera?"

Samudera berdeham sejenak untuk mengurangi gugup. Sial, memang kenapa dia harus gugup?

"Nggak ada, hanya kebetulan lewat sehabis periksa."

Rivera hanya tersenyum tipis. Tapi, Samudera tahu, gadis itu sepertinya tidak nyaman dengan kehadirannya.

AequalisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang