Day - 25

16.6K 2.8K 223
                                    

Seperti sungai yang bermuara pada satu samudera, sudah tepatkah sebuah hati memilih kepada siapa ia bertakhta?
*****
Aequalis
Keping 25
******

Kalau ada definisi yang tepat dari kata memalukan, Rivera akan memilih kata itu. Ia tidak bisa berhenti merutuki dirinya sendiri karena bersikap memalukan di depan Samudera. Yah, meski semuanya menjadi jelas, tentu saja Rivera terlanjur malu karena dengan berani menantang Samudera dan bertingkah percaya diri disertai pemikiran bahwa Samudera tertarik padanya.

Namun, semua telah menjadi bubur. Karena omongan mentah-mentah dari Ovi dan dirinya terlanjur uring-uringan sehari sebelumnya, dengan berani ia mendatangi Samudera dan menumpahkan segala pemikirannya.

Satu hal lagi, sebenarnya ia menangis bukan karena terharu. Itu hanya mewakili perasaannya sebesar sekian persen. Ia menangis karena malu. Malu karena berkata yang tidak-tidak pada Samudera. Untung saja hati dan pemikiran Samudera sejalan dengan apa yang Rivera inginkan. Jika tidak, mungkin Rivera akan mencari keberangkatan pesawat paling cepat menuju kampung halaman.

Ya, meskipun emansipasi sudah lazim dilakukan, tetap saja Rivera merasakan tindakannya tidak tepat. Meski begitu ia cukup lega dengan apa yang terjadi setelahnya. Samudera menjadi dua kali lipat lebih manis dari hari-hari sebelumnya.

Samudera melarangnya memanggilnya Bapak ataupun Pak Samudera lagi. Karena kenyataanya, Rivera memang bukan anak buah Samudera. Mereka hanya tim sementara yang terbentuk sampai keadaan kembali pulih dan program PLN Peduli selesai.

Namun, sepertinya perubahan sederhana itu tetap disadari orang-orang terdekat mereka. Mungkin juga karena bahasa tubuh yang sedikit berbeda dari biasa. Seperti pagi ini, saat para relawan mulai bertugas sesuai masing-masing bidang, Samudera masih menyempatkan diri untuk menemuinya. Meskipun laki-laki itu hanya mendekat dan memindai penampilan Rivera, tidak lupa menampilkan seulas senyum yang sangat jarang ditunjukan pada siapapun.

"Kenapa?"

Samudera masih menikmati potret nyata Rivera yang ada dihadapannya.

"Cuma mau lihat aja."

Rivera membalikan tubuh, merasa malu Samudera menatapnya seperti itu. "Nanti juga bisa."

"Beda." sahut laki-laki itu, kemudian membalik tubuh Rivera hingga kembali berhadapan.

"Apa bedanya?"

Samudera mengerling jahil, sedangkan satu tangan telah mengurai kerutan di dahi Rivera. "Kalau lihat dulu, bisa jadi tambahan energi."

Ini yang berbahaya. Rivera kadang ragu, Samudera yang ada dihadapannya sama sekali tak nampak seperti Samudera. Ia terlihat lebih hangat dan menyenangkan. Berbeda dengan Samudera yang selalu memasang aura intimidasi kuat di hari-hari sebelum ini.

"Kamu nakutin." Rivera melangkah mundur untuk memperluas jarak. "Aku nggak yakin kalau ini kamu. Pak Samudera yang biasa akan memasang aura intimidasi yang kuat."

Laki-laki itu tertawa pelan. "Ternyata jujur lebih enak." akunya. "Saya kadang merasa kosong jika harus terus-terusan memasang wajah seperti itu."

"Baru sadar? Hidup cuma sekali, dan bodoh sekali kalau kita nggak menikmati."

Tangan Samudera naik, mengacak pelan rambut Rivera. "Makasih untuk selalu mengerti."

Rivera mengangguk dengan senyuman singkat. Dia lupa kapan bisa sebahagia ini. Mungkin saat menginjakan kaki yang pertama kali di kota Palu? Atau saat melihat Kakak dan Mamanya bahagia? Entahlah, yang jelas beban menghimpit yang Rivera rasa selama berberapa hari ini musnah begitu Samudera mengatakan isi hatinya. Sesederhana itu. Meski Rivera tahu, masa lalu Samudera belum selesai, setidaknya ia tahu bahwa Samudera akan menyelesaikan masa lalunya, dan berdamai dengan diri sendiri. Itu sudah lebih dari cukup.

AequalisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang