Day - 5

21.8K 3K 61
                                    

Tidak perlu bersifat arogan hanya untuk menutupi luka
***
Aequalis
Keping Lima
***

Rasanya, Rivera ingin menghilang sekarang juga. Samudera pasti otaknya sedang terbentur, atau yang lebih parah, kadar bossy yang ia punya sudah melebihi batas normal, alias overdosis. Bagaimana mungkin laki-laki itu berkata akan bekerja menggunakan tangan Rivera? Rivera harus mengangkat trafo, tiang listrik, dan sebangsanya, begitu? Membayangkannya saja, membuat Rivera bergidik ngeri. Meskipun pernah bercita-cita meneruskan profesi sang Papa seperti kakaknya, sekarang dengan senang hati ia lebih memilih farmasi.

Kemarin, ia kabur tanpa kata, saat Samudera dengan tenang mengatakannya. Rivera tidak menyelesaikan balutan perban yang masih amburadul di telapak kanan Samudera. Ia memilih kabur karena perkataan absurd dari laki-laki itu. Memang, sekarang kedudukan mereka adalah ketua tim dan anak buah, tetapi Samudera sendiri yang harus mengatakan semuanya harus sesuai job description, kan? Rivera adalah tenaga medis, maka tugasnya hanya seputar tentang dunia medis. Bukan menjadi tangan Samudera!

Petugas medis bertambah, terakhir yang ia dengar dari Dean, program PLN Peduli memang terus terlaksana, dan menambah banyak relawan dari berbagai pihak. Sekarang memang tugasnya tak seberat kemarin, karena ia tak hanya berdua dengan Ovi, melainkan mendapat teman baru yang berasal dari Purwakarta dan Banjarmasin.

Tanda-tanda relawan PLN belum terlihat akan kembali. Setahu Rivera, jadwal mereka hari ini tak jauh beda dari perbaikan jaringan. Hal itu mau tak mau membuat Rivera bernapas lega. Setidaknya ia bisa fokus meracik dan memberikan obat tanpa harus bermain kucing-kucingan dengan Samudera.

"Kenapa Riv? Hari ini kamu kelihatan nggak nyaman banget. Padahal kita sudah lumayan banyak yang bantu."

Rivera nyaris menjatuhkan kapsul yang baru saja selesai ia racik. "Kelihatan banget ya? Aku lagi--" ia berpikir untuk mencari alasan yang pas. "nggak enak badan aja."

"Istirahat dulu, pekerjaan udah nggak sebanyak tadi, kok."

Dalam hati Rivera merutuk. Ini semua gara-gara ketua tim mereka! Kalau saja, Samudera tidak mengatakan macam-macam, Rivera pasti melakukan hal apapun dengan tenang.

Dalam diam, ia masih melanjutkan pekerjaannya, menyelesaikan berberapa obat oral* yang akan segera dikonsumsi, sedangkan Ovi dan berberapa relawan lain, menulis etiket* dan memberi edukasi pada pasien korban bencana. Meskipun, alat kesehatan dan macam obat masih terbatas, tetapi setidaknya jauh lebih baik daripada awal kejadian setelah gempa berlangsung.

"Permisi."

Rivera mendongak. Tepat saat itu, nyaris menghamburkan bungkusan puyer yang tadi telah ia hitung, karena menyadari siapa yang berada dihadapannya sekarang.

Rivera menunduk singkat, sedikit basa-basi untuk memberi hormat. Sial, dia belum sempat kabur! Ada hal aneh yang tertangkap dari netra Rivera saat menemukan Samudera ada dihadapannya. Perban gulung yang Rivera pasang dua hari yang lalu masih melekat di lengan Samudera. Sedangkan kassa putih yang digunakan untuk membalut luka di telapak tangan Samudera telah berubah warna menjadi sangat lusuh. Apa Samudera tidak pernah meminta tolong petugas medis lain untuk mengganti perbannya? Atau minimal bertanya pada dokter, apakah keadaan lengan kiri dan telapak kanannya sudah lebih baik?

Melihat Samudera tak menunjukan tanda-tanda untuk beranjak dari hadapannya, Rivera sebisa mungkin bersikap tidak peduli. Ia kembali melanjutkan meracik obat dengan tenang, meskipun sekarang fokusnya terbelah, karena Samudera menatapnya lekat. Tatapan intimidasi yang paling dibenci Rivera.

AequalisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang