Day - 9

18.6K 3.1K 138
                                    

Apa yang terpikirkan dari sebuah tarikan di kedua sudut bibir?
*****
Aequalis
Keping 9
*****

Rivera gugup, tentu saja. Siapa yang tidak terkejut jika orang nomer satu di sebuah Perusahaan milik negara, tiba-tiba menampakkan diri dihadapannya. Tidak hanya itu, tanpa sungkan laki-laki paruh baya itu bertanya padanya. Untung saja Rivera bisa mengatasi segalanya dengan baik.

Dari jauh, Rivera bisa melihat wajah kesal Samudera. Laki-laki yang akhir-akhir ini seakan mengusik hidupnya. Anehnya, Dean terlihat sedang menahan tawanya. Mungkin saja Samudera kelewat serius sehingga Dean bisa dengan mudah mengganggunya.

Kadang Rivera berpikir, Samudera dan Dean adalah partner yang cukup solid. Dean bisa melengkapi Samudera hingga bagian terkecil yang Samudera sendiri tidak sadari. Padahal, jika dihitung-hitung dalam aksi menguping yang tidak sengaja terdengar, Dean selalu menjadi luapan amarah Samudera.

Anehnya lagi, Rivera jadi penasaran dengan apa yang terjadi dengan Samudera jauh sebelum ini. Dan ketika netranya tidak sengaja bersirobok dengan netra tajam milik pemuda itu, Rivera tanpa sadar menarik kedua sudut bibirnya, membentuk seulas senyum. Bahkan, ketika Samudera juga ikut menarik sudut bibirnya, jantung Rivera berdebar sangat kencang.

Dia hanya kaget melihat senyum tipis Samudera, kan?

Iya, pasti karena itu! Samudera adalah tipikal laki-laki datar yang jarang tersenyum. Maka, jika laki-laki itu bisa menarik sudut bibirnya, itu merupakan sebuah keajaiban, sehingga jantung Rivera bisa berjingkat aneh.

"Mbak Rivera!"

Rivera mendongak ketika suara Dean memanggil namanya. "Iya, Pak?"

Dean mengibaskan tangan. Sedang senyum tidak luntur dari wajah laki-laki itu. "Panggil Dean aja, kayaknya kita seumuran. Saya masih dua tujuh."

Rivera tersentak, "Ya tetap aja lebih tua."

Dean memilih mendudukan diri di samping Rivera. "Ya sudah, kalau gitu panggil, Mas aja. Biar lebih akrab. Yang lain juga pada panggil begitu, kok!"

Rivera tertawa. Sedang Dean masih memberikan obrolan kecil yang tidak ada habisnya. Mengabaikan tatapan tak terdefinisi dari seorang pemuda yang terus mengarah pada mereka.

Sebenarnya, Rivera juga ingin bertanya pada Dean, apakah jaringan telepon sudah bisa tersambung? Terhitung lebih dari seminggu, Rivera belum mengabari siapapun lagi, selain kakak laki-lakinya, itupun hanya berlangsung berberapa detik, karena setelahnya sambungan telepon kembali terputus.

"Ada apa?"

Rivera ragu-ragu bertanya. "Apa jaringan telepon sudah kembali terhubung? Saya perlu menghubungi keluarga saya."

Dengan cekatan Dean mengeluarkan ponselnya. "Pakai saja punya saya. Saya sama sekali nggak keberatan."

Rivera menggumamkan kata terimakasih. Lantas memakai ponsel Dean, dan menelepon nomor yang sudah dia hapal di luar kepala. Ponselnya mati, sedangkan changer masih sangat terbatas.

"Hallo? Mama?"

Rivera bisa mendengar suara isak tangis dari sana.

"Rivera, anakku?"

Rivera menahan tangisnya saat itu juga.

"Iya, Ma ini Rivera. Rivera mau kasih kabar kalau Rivera di sini baik-baik saja."

Suara sang Mama kembali terdengar. "Kapan pulang?"

Rivera menghela napas, menduga bahwa pertanyaan ini akan terlontar.

AequalisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang