Day - 22

16.9K 2.6K 97
                                    

Sebab, masa lalu terlalu sering membelenggu, tanpa tahu bagaimana melangkah untuk maju.
*****
Aequalis
Keping 22
*****

"Sektor sembilan finish, laporan selesai!"

Samudera mengembuskan napas lega.  Tersisa delapan hari lagi untuknya tetap berada di tempat ini. Setidaknya ia harus bisa mencapai target sembilan puluh persen, agar dia bisa kembali dengan tenang.

"Baik, kita lanjutkan di sektor sepuluh. Setelah makan siang nanti."

Bertemu Rivera akan membuatnya semakin bertanya-tanya. Namun, ia sendiri tidak siap dengan kenyataan yang harus ia terima. Entah baik, ataupun buruk baginya. Maka ia lebiu memilih menghabiskan waktu seharian hanya untuk bekerja.

Samudera bahkan tidak memilih istirahat, tetap berkeliling memastikan titik tepat yang dianggapnya dapat kembali dialiri oleh listrik. Reruntuhan bangunan dan pecahan jalan yang tersisa kerap sekali menghambat progres. Namun, ketika kepercayaan dirinya kembali, ia tidak lagi merasa takut untuk menggunakan otak cerdasnya.

Sebab, kata-kata Rivera kerap kali terngiang, bahwa tak selamanya seseorang harus terjebak dalam masa lalu. Sejujurnya, Samudera masih merasakan sedikit takut. Takut bahwa pilihannya bukan pilihan paling tepat seperti saat kejadian itu terjadi.

Samudera memilih duduk di salah satu gundukan tanah yang tidak rata. Matahari terasa tepat di ubun-ubun membuatnya merasa sedikit pening. Namun, ia tahu, bukan hal itu penyebab utama yang membuat kepalanya berdenyut seperti ini. Seorang karyawan PLN sudah dilatih dengan fisik kuat yang hampir setara dengan para abdi negara. Penyebab utamanya adalah potongan kejadian itu terus berputar seperti rol seperti rol film.

Masih jelas dalam ingatannya ketika dirinya dan Alviona berdebat dalam hidden area. Hanya berberapa orang kepercayaan Samudera yang diperbolehkan masuk disana, karena masih banyak sektor yang masih rawan. Ia tahu Alviona adalah sosok perempuan manja dan keras kepala, adik angkatnya itu akan terus mengikuti Samudera meski Samudera  menuruni jurang terjal. Bodohnya, Samudera membiarkan adik angkatnya itu mengikutinya yang masuk dalam hidden area. Tanpa sekalipun pengaman.

Masih teringat jelas bahwa pagi itu, sebelum kejadian mengerikan itu terjadi, Giandra Santosa, satu-satunya orang yang Samudera percayai, mengatakan bahwa hidden area sangat berbahaya jika ditinjau sewaktu-waktu, pondasi tower masih dalam proses pengerjaan dan belum menjamin kokoh. Namun dengan bodohnya, dengan emosi yang menguasai hatinya, Samudera melangkah kesana, di ikuti oleh Alviona, sedang mereka yang terus berdebat di setiap langkah.

Samudera mengusap wajahnya kasar, ketika bayangan itu sama sekali tak mau pergi. Ketika dengan jelas Giandra Santosa mendorong Samudera dan Alviona, membiarkan tubuhnya sendiri tertimpa reruntuhan besi, meskipun pada akhirnya reruntuhan itu tetap mengenai adik angkatnya karena waktu terlampau sangat cepat. Samudera satu-satunya yang berhasil selamat.

Begitu banyak kebodohan yang Samudera lakukan saat itu. Ia memilih Giandra Santosa sebagai tangan kanannya. Ia tidak mendengarkan pendapat-pendapat lain dan melakukan apapun sesuai pilihannya. Ia yang memilih membiarkan Alviona dalam bahaya. Dan ia yang membuat Giandra Santosa kehilangan nyawa karena harus menyelamatkan dirinya.

Ia yang bodoh karena tidak mendengarkan kata-kata Om G dari awal, bahwa pembangunan proyek SUTET itu sangat beresiko. Ia yang bodoh karena tetap memilih melanjutkan proyek itu. Padahal kelanjutan proyek masih bisa di diskusikan dengan para petinggi perusahaan. Bagaimanapun, keselamatan tetap menjadi prioritas utama. Namun kenyataannya dia malah menghilangkan dua nyawa yang begitu berharga.

AequalisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang