"Lisya pulang" ucap anak itu sambil merebahkan badannya di sofa ruang tamu.
Badannya sangat lelah, apalagi mengingat ia belum meminum vitamin nya. Meskipun sudah bertahun-tahun, bekas operasi ginjal itu terkadang berdenyut tiba-tiba membuat Cecilia harus kuat menanggung sakitnya. Dan selama itu juga, hanya dirinya yang mengetahui tentang hal itu. Tidak untuk bibinya, tidak juga untuk kedua orang tuanya.
"Gimana sayang? Lancar gak tadi" ucap Derlia sambil memberikan gadis itu air putih lalu diteguk gadis itu dengan perlahan.
"Lancar kok, Bun. Dan ternyata cowok nya itu kawan satu sekolah nya Lisya"
jawabnya dengan mata yang dibuat berbinar.Derlia tersenyum melihat tanggapan dari anak kakaknya itu. Ia meletakkan salah satu tangan Cecilia untuk di letak di atas tangan nya lalu di usap dengan lembut.
"Bunda tau kamu sebenarnya gak suka kan sama calon nya? Kenapa gak kamu tolak aja hm?" Derlia menatap gadis itu dengan lembut. Namun, Cecilia menundukkan kepalanya, ia tidak akan pernah bisa membohongi wanita itu. "Lisya gak bisa ngecewain mama lagi, Bun" lirihnya.
Derlia memegang dagu Cecilia perlahan, membuat gadis itu terpaksa menatapnya. "Kamu gak pernah ngecewain mama loh"
Perlahan air mata menetes di pipi Cecilia, gadis itu terisak. Derlia yang kaget dan khawatir pun segera memeluk gadis itu.
"Lisya gak mau bikin mama sama papa tambah susah lagi Bun. Lisya gak mau mama sama papa tambah kecewa udah itu malah benci ke Lisya" ucapnya sambil sesenggukan.
Derlia yang mendengarnya pun ikut menangis. Namun wanita itu hanya menangis dalam diam. Ia iba kepada keponakan nya ini. Cecilia itu masih kecil, tapi kenapa dia harus menanggung semuanya sendirian? Padahal Derlia berharap dengan kedatangannya ke keluarga ini mampu membuat beban gadis itu berkurang meskipun hanya sedikit. Namun nihil, dia bahkan tidak bisa berbuat apa-apa untuk gadis itu.
Tanpa mereka sadari, seseorang melihat interaksi keduanya dengan sedih dan sakit. Ingin rasanya orang itu ikut berpelukan, ikut berbagi luka dan kesedihan serta ikut menenangkan gadis yang sangat disayangi nya itu. Namun ia sadar waktu telah berlalu begitu cepat, mengubah segala canda tawa mereka dengan kesedihan dan kekecewaan yang mendalam dan membekas.
Ia tersenyum miris lalu berbalik meninggalkan rumah itu. Sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk berbaikan dengan masa lalu.
¤¤¤¤¤
Keesok paginya, Vino sudah duduk di ruang makan keluarga Rahardian bersama kedua calon mertuanya serta Derlia dan Cecilia yang entah mengapa terlihat canggung di mata Vino.
Sebenarnya Vino sudah merencanakan untuk berangkat seperempat jam sebelum bel masuk sekolah berbunyi, namun ia sudah dibangunkan terlebih dahulu oleh Wilda lalu menyuruh nya untuk sarapan sambil menjemput calon tunangannya ini.
Saat ia memasuki rumah itu, suasana nya agak berbeda dari suasana rumahnya. Kalau saja di rumahnya suasana nya terasa sangat nyaman dan damai, maka di sini ia merasakan kalau rumah yang ditempati oleh Cecilia terasa seperti kuburan. Sepi, suram dan menyedihkan. Entah itu memang faktanya atau mungkin hanya halusinasi dan perasaannya saja.
Berbeda dengan Cecilia yang sudah terbiasa dengan bangun pagi, tadi ia sudah bersiap-siap untuk membuat sarapan seperti biasanya. Saat akan memasuki dapur, ia dikejutkan dengan keberadaan Derlia yang sedang memotong sayuran bersama dengan ibunya yang sibuk dengan penggorengan. Dengan perlahan gadis itu berjalan ke arah Derlia lalu membisiki nya sepelan mungkin. "Bun, ini kenapa mama bisa di dapur?" tanyanya sambil menatap Nia yang tidak memperdulikan interaksi kedua wanita itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cecilia (COMPLETED)
Historical Fiction"Jadi cewek tuh jangan keras kepala bisa gak?! Pikirin kesehatan diri lo sendiri! " -Darel Zidan "Cewe tuh seharusnya di perlakukan dengan lembut. Tapi khusus buat lo, itu sebuah pengecualian bagi gue!" -Vino Pranandra "Lo semua gak tau apa-apa tent...