Cecilia memandang ke bawah. Balutan kain panjang putih nan indah melekat di tubuhnya. Sangat indah dan cantik, gaun impiannya. Di angkatnya kepalanya, memandang pantulan dirinya di sebuah kaca besar. Make up yang indah, baju indah dan hari yang seharusnya juga indah. Tapi, TIDAK! Ia membenci hari ini, membenci gaun putih dan make up yang ada di badannya. Ia membenci semuanya. Seharusnya gaun ini dipakai untuk hari yang telah dia impikan bersama dengan seseorang yang seharusnya menjadi pendamping di masa depannya kelak. Pendamping yang benar benar dia cintai dan begitupun sebaliknya, pendamping yang juga mencintainya dengan sepenuh hati.
Tanpa sadar air mata jatuh menuruni pipinya yang sudah dirias. Untung. Untung saja make up itu waterproof jadi dia tidak perlu khawatir bahwa make up itu akan rusak hanya karena air matanya.
Tok.. tok.. tokk
Suara pintu diketuk hanya dianggap angin lalu olehnya.
Tok.. tok.. tok..
Sekali lagi pintu itu diketuk membuatnya terpaksa menahan kesal, "Masuk aja" ucapnya sambil mendudukkan dirinya di pinggir tempat tidur.
Ceklek...
Pintu terbuka menampilkan sosok seseorang yang menjadi alasan nya mengutuk hari ini sebagai hari yang terburuk seumur hidupnya setelah kematian sang abang.
"Gimana perasaan lo?" tanya sosok itu ikut mendudukkan dirinya bersebelahan dengan Cecilia. Ia memandang gadis di depannya sambil tersenyum lembut.
"Lo habis nangis?" tanya nya lagi dengan lembut.
"Nggak kok. Lagian untuk apa gue nangis coba?" ucap Cecilia sambil mengalihkan pandangannya dari Vino yang menatapnya dengan intens. Iya, Vino yang mendatanginya. Pria itu memakai kemeja putih, dasi kupu-kupu, jas hitam, jangan lupakan rambutnya yang sudah ditata serapi mungkin. Sangat cocok untuk berdampingan dengan baju yang dikenakan Cecilia.
"Lalu ini apa Sya?" tanya Vino sambil mengusap bekas air mata di pipinya. Cecilia gelagapan sendiri jadinya.
"Engg... it-itu tadi gue cuma kelilipan doang kok. Dan apaan itu tadi? Sya? Siapa yang ngizinin lo manggil gue pakai sebutan itu?"
"Alasan lo basi. Lo kira ini sinetron apa?"
"Suka-suka gue dong. Lagian gak usah ngalihin pembicaraan, lo belum jawab pertanyaan gue tadi" kesal gadis itu. Vino terkekeh lucu melihat Cecilia yang biasanya bertingkah bar-bar di sekolah, sekarang malah bertingkah seperti anak kecil di depannya.
"Pertanyaan yang mana sih Sya?" tanya Vino berniat menggoda gadis itu.
"Ck pikun banget sih. Yang tentang panggilan lo ke gue" gerutu gadis itu.
"Panggilan gue? Buat lo? Yang mana? Cewek jadi-jadian? atau Sya?"
"Yang Sya, Siapa yang ngizinin coba?"
"Gak ada sih. Cuman gue suka aja manggil lo pakai itu. Lagian itu masih nama lo kan? Cecilia Lisyazar Rahardian?"
"Iya sih.. ya tapi kan--" ucap gadis itu menghentikan ucapannya. Ia merasa aneh saat ada orang asing yang memanggil namanya dengan panggilan kesayangan khusus dari keluarganya ya... meskipun hanya Derlia yang masih memanggilnya dengan sebutan itu.
Vino memandang Cecilia aneh, ia menunggu gadis itu melanjutkan ucapannya. Tapi sepertinya gadis itu tidak ingin melanjutkan kembali ucapannya. Dipegangnya dagu gadis itu dengan lembut, mengarahkan dagu itu ke arahnya sehingga manik coklat itu bisa bertatapan dengan manik gelap miliknya.
"Tapi kenapa Sya?" tanya nya dengan lembut. Cecilia yang ditatap sedekat itu pun menjadi gugup, tangannya bergetar berusaha mendorong pria di depannya. Namun apa daya, dia hanya perempuan. Sekuat apa pun dia di sekolah melawan para siswa, tetap saja kekuatan pria seperti Vino lebih besar dibanding kekuatan nya yang tidak seberapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cecilia (COMPLETED)
Historical Fiction"Jadi cewek tuh jangan keras kepala bisa gak?! Pikirin kesehatan diri lo sendiri! " -Darel Zidan "Cewe tuh seharusnya di perlakukan dengan lembut. Tapi khusus buat lo, itu sebuah pengecualian bagi gue!" -Vino Pranandra "Lo semua gak tau apa-apa tent...