Sinar matahari yang menyilaukan membuat Cecilia terbangun dari tidurnya. Setelah menyesuaikan cahaya yang masuk, Cecilia mengedarkan pandangannya ke tiap sudut ruangan.
"Ah, rumah Bunda" ucapnya setelah mengingat di mana keberadaannya.
Disingkapnya selimut yang masih menyelimuti badannya. Gadis itu berjalan perlahan menuju meja rias yang ada di dekat pintu kamar mandi.
Cecilia menatap pantulan wajahnya di cermin. Pucat, matanya sembab, rambut acak-acakan. Astaga!
"Muka gue ya Tuhan" ucapnya dramatis.
Ceklek
Pintu kamar terbuka perlahan, menampilkan sosok Derlia yang tersenyum manis melihat keponakannya seperti orang depresi melihat penampilannua sendiri.
"Udah-udah. Mandi sana. Kamu gak mau pergi ke sekolah?"
"Udah jam 10 juga Bun. Malas ah. Besok aja perginya" Cecilia berjalan malas ke tempat tidurnya. Derlia hanya menggelengkan kepalanya.
"Gak apa-apa terlambat. Yang penting tetap sekolah" ucap Derlia berusaha membujuk Cecilia demi kelancaran rencananya.
Cecilia yang tidak menyadari gelagat aneh dari sang Bunda pun tetap menggelengkan kepalanya dengan malas.
"Besok aja Bunda~~~ Lisya malas liat anak-anak yang lainnya" Sepertinya Cecilia tidak sadar dengan apa yang dia ucapkan.
"Maksud kamu gimana? Kamu ada masalah sama temen-temen kamu hm?" Tanya Derlia membuat Cecilia mengutuk mulutnya dalam hati.
"E-eh maksud Lisya tuh Bun. Sesekali kan Lisya butuh refreshing, ke mall misalnya gitu. Malas di sekolah terus Bun" ucap Cecilia. Derlia menganggukkan kepalanya.
"Btw Bun, kak Zidan mana ya Bun?"
"Zidan ke bandara tadi pagi. Dia ke London untuk empat hari kedepan. Perusahaan dia lagi ada masalah kecil katanya" jelas Derlia sambil mengingat-ngingat Darel yang jam tiga pagi tadi sudah terbangun dengan koper di tangannya. Pria itu membangunkan Derlia, mengucap pamit lalu pergi ke bandara dengan cepat bersama sopir mereka.
"Loh? Kok kakak gak bilang ke Lisya dulu sih Bun?" Derlia menatap ke arah Cecilia yang memasang raut wajah sedih.
"Bukan gitu. Katanya dia mau bangunin kamu, tapi karna kamu tidurnya nyenyak banget jadinya dia gak mau bangunin. Apalagi katanya kamu habis nangis lagi, kamu kan tau sendiri kakak-kakak kamu mana ada yang tega liat muka kamu yang polos banget waktu tidur" ucap Derlia memberi pengertian. Cecilia yang mendengar ucapan sang Bunda pun membenarkannya dalam hati. Dari dulu sampai sekarang, baik Arbani maupun Darel tidak ada yang pernah membuatnya kecewa, terluka, bersedih, ataupun melakukan hal yang dapat melukai Cecilia. Gadis itu tau, kakak-kakaknya sangat menyayanginya. Sama seperti orang tuanya. Hanya saja sekarang sudah berubah.
"Iya juga, Bun. Ya udah deh, semoga kakak selamat sampai ke tempat tujuannya ya Bun"
Derlia tersenyum. Diusapnya rambut Cecilia yang masih berdiri di hadapannya dengan lembut. Memasukkan sebelah rambut gadis itu ke belakang telinganya.
"Amin. Mendingan sekarang kamu mandi gih. Katanya mau ke mall kan? Bersihin badan kamu, habis itu pakai make up yang natural aja. Buat nutupin tuhhh" Derlia menunjuk ke arah mata Cecilia.
"Biar gak nampak mata sembabnya. Nanti dikira Bunda apa-apain lagi" Cecilia terkekeh. Mengangkat tangan sebelah kanannya ke depan kening. Membentuk posisi hormat sambil tersenyum cerah. "Baik Komandan" dengan begitu gadis manis itu bergegas memasuki kamar mandi sambil bersenandung dengan riang.
Derlia masih tersenyum di tempatnya. Namun, setelah melihat Cecilia hilang dari pandangannya. Wanita paruh baya itu mengambil ponselnya yang diletak di saku dress nya sebelah kiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cecilia (COMPLETED)
Historical Fiction"Jadi cewek tuh jangan keras kepala bisa gak?! Pikirin kesehatan diri lo sendiri! " -Darel Zidan "Cewe tuh seharusnya di perlakukan dengan lembut. Tapi khusus buat lo, itu sebuah pengecualian bagi gue!" -Vino Pranandra "Lo semua gak tau apa-apa tent...