Jatuh cinta terkadang membuat kita tidak tahu diri, walaupun itu untuk pertama kali. Bahkan memaksa kita meyakini adanya takdir yang sengaja di ciptakan untuk seseorang yang ternyata mustahil untuk kita miliki. Semuanya dimulai pada suatu pagi. Di atap Sekolah Dasar yang basah sehabis hujan.
Di sana kita dihukum bersama beberapa teman lain untuk berdiri di depan papan tulis karena terlambat. Rambut saya basah kena hujan. Saya pura-pura menyisirnya. Antara malu dilihat puluhan teman kelas dan takut mati gaya. Lantai kelas yang barusan saya pijaki masih berlumpur. Ibu Ros melanjutkan menulis di papan. Ketika saya mongering-ngerikan jaket dan celana dengan menarik-nariknya dengan tangan, tiba-tiba seluruh kelas bersorak
"Cieee...."
Saya memperhatikan apa yang mereka soraki. Teman-teman yang berdiri di samping, ikut memandangi saya. Saya memperhatikan resleting celana yang biasanya terbuka.
Aman saja.
Saya baru sadar. Jaket yang saya pakai, ternyata diseberang sana, sama dengan jaket yang kamu pakai. Bedanya, saya berwarna hitam dan kamu berwarna merah. Kau hanya berdiri tersenyum. Mata kita bertemu. Sebelum momen itu dipisahkan oleh satu putaran waktu. Saya mulai menyadari sesuatu hal ; Saya jatuh cinta.
Selama berdiri didepan papan tulis. Saya menimbang-nimbang apa yang barusan terjadi. Pikiran saya memperdebatkan sesuatu hal. Di satu sisi saya berpikir itu hanya kebetulan. Di sisi yang lain saya berpikir bahwa itu takdir. Bahwa Tuhan memperlihatkan saya seorang teman hidup. Dari tujuh orang yang dihukum, kenapa cuman saya dan kamu yang jaketnya sama?
Setelah pelajaran selesai. Semua di perbolehkan untuk duduk. Ibu Ros menanyakan PR Bahasa Daerah. Sialnya, cuman saya dan Natsir, siswa di hukum yang tidak mengerjakan PR. Ibu Ros lalu mengeluarkan sebilah penggaris. Saya tahu akan ada apa setelah ini. Natsir melihat saya. Ia memperlihatkan tangannya.
Saya kembali ke tempat duduk dengan tangan yang diusap-usap. Tempat duduk saya ada di kelompok Anggrek. Natsir kembali ke kelompok Kancil. Sedangkan kamu kembali ke tempat dudukmu. Kelompok Teratai.
Sebelum kejadian tadi. Saya hanya mengenalmu sebagai seorang teman perempuan yang rasa-rasanya mustahil ingin bergaul dengan orang seperti saya. Di dalam kelas ini, mungkin ada tujuh sampai sepuluh orang yang suka denganmu. Termasuk Bima. Bos pertama dikelas ini.
Saya tidak tahu sejak kapan sistem bos di dalam kelas ini diterapkan. Peringkatnya diukur dari seberapa kuat dan hebat siswa laki-laki dalam hal berkelahi. Bima sendiri sudah membuat banyak siswa di kelas ini menangis dan takut mencari masalah dengannya. Semua laki-laki di dalam kelas pasti memiliki urutan bosnya sendiri. Ada 36 siswa laki-laki yang sekarang duduk di kelas empat. Dan saya adalah Bos ke-34. Dua orang dibawah saya adalah Rijal dan Natsir.
Setelah duduk dan menaruh tas di kursi. Tiba-tiba kamu berjalan ke arah saya. Duduk di kursi kosong di seberang kelompok Anggrek lalu berkata
"Kamu beli jaketnya di Bali juga ya Rey?"
Sungguh, baru kali ini saya menatapmu begitu lama, rambut pendek sebahumu seperti menari-nari, dan saat itu juga saya tahu kau punya tahi lalat di leher bagian bawah.
"Hehe, iya. Di beliin Ibu sih"
"Gimana kainnya? Nyaman kan?" Kau tersenyum, seolah menekankan bahwa memang benar ada kenyamanan di sana.
"Iya. Lumayan. Hangat"
"Aku beli jaket ini karena enak makenya. Kainnya tebel. Jadi bikin gak gampang kedinginan"
Itu pertama kali kau mengajak saya berbicara. Setelah itu si raja hutan, Bima datang masuk ke sela-sela pembicaraan seperti tukang parkir yang tiba-tiba datang tanpa diharapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segelas Susu
Non-FictionSegelas Susu adalah kumpulan cerita pengalaman pribadi saya. Saya mengarsipkan sebagian ingatan itu di sini. Tentang penolakan, melepaskan, dan mengikhlaskan yang tidak bisa dipaksakan. Sebagian pernah dimuat di blog. Sisanya saya buang ke dalam tu...