Tiga bulan. Saya cuman punya tiga bulan untuk untuk mencoret list 'Dapat Pacar' yang tercantum dari sekian baris dari Header yang bertuliskan 'Target di umur 19 tahun' itu. Sungguh waktu yang sangat singkat untuk menumbuhkan perasaan kepada seseorang. Saya menganggap itu sebuah tantangan. Mau bagaimanapun target tetaplah target. Saya tidak mau menjadi jomblo yang tidak pernah pacaran sampai umur 20 tahun.
---
Saya menemukannya. Namanya Fira. Setelah dua minggu lebih mencari, akhirnya saya menemukan seseorang yang saya anggap cocok dan menarik. Kebetulan kami lahir di daerah yang sama. Saya juga mengenal beberapa temannya. Kami mulai berkenalan di media sosial. Ya, lagi-lagi media sosial.
Ini berbeda. Ini bukan lagi ekspektasi yang tidak sesuai dengan realita. Apa yang dia tampilkan di media sosial adalah sebagaimana dia adanya. Kami baru sekali bertemu. Dari awal saya memang tidak terlalu berekspektasi tinggi. Di pertemuan pertama, saat saya ingin pamit untuk pulang, dia tiba-tiba menawarkan
"Kamu gak mau mampir ke kos?"
Sebagai laki-laki yang baru pertama kali ditawarkan bertamu ke kos perempuan, pikiran saya mulai kemana-mana. Bagaimana kalo ternyata dia tukang hipnotis? Sampai dikosannya saya dihipnotis, semua barang dan harga diri saya direbut. Bagaimana kalo aslinya dia berjakun?
"I..iya, boleh. Tapi sebentar saja ya" Akhirnya saya menjawab. Dengan pertimbangan untuk menghragai ajakannya. Saya cuman tidak mau disebut cowok sok ganteng yang jual mahal.
Sampai sana, dia membuatkan minuman yang saya minum dengan penuh rasa curiga. Saya endus-endus minumannya. Saya julurkan lidah saya, mencoba menganalisa rasa yang ada.
Setelah itu kami mulai bercerita. Lebih tepatnya dia yang bercerita. Saya lebih banyak mendengarkan dan bertanya tentang hidupnya. Sedangkan tanpa sadar dia bahkan tidak pernah mengajukan pertanyaan tentang hidup saya. Sepertinya hidup saya memang tidak menarik untuk dipertanyakan.
Walaupun begitu, saya tetap merasa nyaman sewaktu mengobrol dengan dia. Saat dia berbicara saya selalu memperhatikan matanya, saat dia tersenyum, saat dia memukul pundak saya, dan saat dia bercerita tentang perpisahan orang tuanya.
Semenjak pertemuan itu, setiap malam kami mulai sering berkomunikasi. Kadang saya yang nelpon, saya yang chat, saya yang kasih perhatian, saya yang. Ini kok saya semua ya.
Setiap obrolan yang kami lakukan, waktu rasanya seperti kereta yang melaju sangat cepat. Menit berubah menjadi detik dan jam menjadi menit. Serbuan hormon dopamin membuat 'selamat tidur' menjadi susah tidur.
Sampai waktunya tiba, keadaan membuat kami tak lagi sempat bertemu. Dia sibuk mengerjakan skripsi, saya sibuk mengerjakan tugas kuliah yang mulai menumpuk. Kami mulai jarang berada di kota yang sama. Tidak ada lagi kesempatan untuk bertemu. Tidak ada lagi waktu yang pas untuk sekedar berkomunikasi. Kesibukan selalu menjadi alasan. Tanpa disadari kadang waktu adalah orang ketiga terbaik yang bisa membuat dua orang saling melupakan.
Sebulan berlalu. Dia akhrinya di wisuda. Kembali ke daerah tempat kelahirannya yang semakin jauh dari kota ini. Mungkin tidak ada lagi kesempatan untuk bertemu di kota yang sudah mempertemukan kami.
Ada satu waktu saya mencoba menghubunginya. Mencoba berbicara soal karir yang akan ditempuhnya setelah wisuda. Topik yang pas untuk membuat kami tenggelam kembali ke dalam time wrap. Waktu itu kesibukan kami mulai agak merenggang. Dia bilang minggu depan akan kembali ke kota ini untuk mengurus ijazahnya.
Hari-hari berlalu. Komunikasi saya dan dia kembali seperti awal bertemu. Malam hari, dia baru sampai ke kota ini. Saya tidak menyia-nyiakan kesempatan. Saya sudah merencanakan besok untuk bertemu dengannya. Untuk mengungkapkan perasaan saya.
Sehari sebelum bertemu, saya menelponnya untuk sekedar mengungkapkan rindu, bertanya kabar dan menentukan waktu untuk bertemu.
---
Kita hanya ingin melihat apa yang ingin kita lihat. Mengharapkan perasaan seseorang sama seperti yang kita harapkan. Tanpa sadar, kita mengabaikan bahwa tiap-tiap orang memiliki perasaan dan pemikiran yang berbeda.
Saya terjebak dengan persepsi sendiri. Persepsi itu begitu kuat sehingga mengabaikan seseorang yang bisa jadi sudah lebih dulu datang bertamu dalam dunianya.
Malam itu, ketika hendak menentukan waktu untuk bertemu esok hari. Obrolan kami sama seperti biasa. Begitu dekat, begitu akrab dan begitu hangat. Sampai saya mengajukan pertanyaan basa-basi. Jika kamu perempuan, mungkin kamu pernah diajukan pertanyaan basa-basi seperti ini dari laki-laki :
"Saya telpon sampai tengah malam begini, tidak ada yang marah kan?"
Bagi sebagian laki-laki, pertanyaan seperti itu adalah salah satu modus untuk tahu status perempuan, apakah dia jomblo atau tidak. Sebagian perempuan mungkin sudah paham dengan pertanyaan seperti ini.
Dan jawaban dari pertanyaan basa-basi saya malam itu adalah :
"Ngga. Dia orangnya ngga pemarah kok. Santai saja..."
Saya terdiam. Saya berusaha membuang jauh-jauh permikiran bahwa dia sudah punya pacar. Siapatau yang dia maksud itu kakak atau orangtuanya bukan? Semakin penasarann dengan apa yang dia maksud, saya kembali bertanya untuk memastikan.
"Maksud kamu. Pacar kamu?"
Dia diam sejanak. Saya juga diam. Lalu dia menjawab.
"Iya, dia orangnya santai kok, nggak cemburuan"
Malam itu saya ingin berkata kasar. Sungguh. Jantung saya yang tadinya berdebar kencang. Sekarang menjadi panas. Saya melempar bantal, buku, memukul tembok, lalu ingin melempar ponsel. Tapi setelah dipikir-pikir ponsel saya harganya mahal, makanya tidak jadi.
"Oh,..."
"..."
"Kamu sudah punya pacar?"
Dia hanya diam. Mungkin merasa tidak enak.
"Sejak kapan? Kok saya baru tahu, hahah"
"Beberapa minggu yang lalu"
Malam itu yang bisa saya lakukan hanya bersandiwara. Hanya mendengarkan dan pura-pura bahagia mendengarkan cerita-ceritanya.
Sejak saat itu, saya membatalkan janji yang sudah direncakan besok. Rencana untuk mengungkapkan perasaan batal begitu saja. Faktanya, dia sudah punya pacar. Beberapa minggu setelah pertemuan pertama, saya sama sekali tidak pernah menyinggung tentang siapa yang mendekatinya. Yang saya tahu, sebelum kami pertama kali bertemu, dia masih sendiri.
Dari awal saya sangat yakin, ini adalah kali terakhir saya untuk mencintai seseorang. Sayangnya dia yang saya harapkan dan saya percaya ternyata cuman menganggap ini semua hanya pelarian yang menyenangkan. Baru kali ini saya begitu dekat dengan seseorang. Saling menceritakan masa depan, saling memberi kabar tentang hari melelahkan yang sudah dijalani. Lalu semuanya pupus begitu saja.
Saya menghapus riwayat chat dengannya. Menghapus semua rencana-rencana hebat yang suatu saat akan dihabiskan bersama. Saya tidak ingin berharap pada siapa-siapa lagi.
Berharap benar-benar pekerjaan paling melelahkan di dunia. Karena ketika mempercayai seseorang, harapan-harapanmu seperti dipermainkan oleh praduga yang kau buat sendiri. Kita hanya ingin melihat apa yang ingin kita lihat dari seseorang. Kita hanya ingin tertidur lelap dengan mimpi-mimpi utopis. Kita pura-pura lupa, bahwa seringkali diujung sana, ada kenyataan yang siap menampar kita kapan saja.
Ya, berharap memang pekerjaan paling melelahkan di dunia.
Sekarang waktu yang saya miliki tinggal beberapa hari. Beberapa minggu ke depan, umur saya sudah 20 tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segelas Susu
Non-FictionSegelas Susu adalah kumpulan cerita pengalaman pribadi saya. Saya mengarsipkan sebagian ingatan itu di sini. Tentang penolakan, melepaskan, dan mengikhlaskan yang tidak bisa dipaksakan. Sebagian pernah dimuat di blog. Sisanya saya buang ke dalam tu...