Ada beberapa kisah dari kasih yang belum sampai yang memaksa kita untuk menutup buku dan mulai membuka lembaran buku lainnya. Walaupun kita masih belum bisa beranjak dan merelakan apa yang sudah terjadi. Walaupun pada akhirnya kita bersikeras untuk tetap bertahan, setelah itu masih tetap saja memendam.
Satu-satunya dimensi yang tidak pernah peduli tentang itu adalah waktu. Bertahan atau melupakan, ia akan tetap terus berputar. Kita akan terus bertumbuh. Hidup terus berlanjut tak peduli cerita mu sudah selesai atau belum.
Bertahun-tahun saya mengagumi mu dalam pikiran. Sewaktu SMP kau pindah ke sekolah saya. Dan berhasil membuka kenangan lama yang coba saya lupakan. Memasuki masa SMA, sialnya kita dipaksa berada di kelas yang sama. Saya sudah tidak percaya takdir. Mungkin ini hanya kebetulan.
Naik kelas dua saya menemukan seseorang yang setidaknya bisa mengalihkan perhatian saya darimu. Lalu perlahan saya mulai membuka awal cerita yang baru. Mulai melupakanmu dan ketidakmungkinan yang kau bawa. Saya jatuh cinta dengan adik kelas. Namanya Aisyah.
***
"Kamu mau kemana?" tanpa menjawab pertanyaan itu saya bergegas ke toko yang menjual beberapa boneka dipinggir jalan. Dari tadi sore hingga pukul setengah lima saya berada dirumahnya. Dia Zul, seorang sahabat SMA. Hanya berbincang tentang persiapan besok dalam pertandingan Pencak silat yang telah kami impikan jauh-jauh hari.
Sebenarnya rencana ini sudah lama berada dalam otak saya, tapi nyatanya belum berani saya lakukan. Dan besok pikiran ini harus bersih dari hal-hal luar yang dapat mengganggu pertandingan. Setelah menanyakan dimana dia berada di jejaring sosial, saya langsung pamit dari rumah Zul, bergegas ke tempat itu.
Saya turun dari motor, dengan baju yang agak basah hasil dari latihan tadi sore. Pura-pura menanyakan harganya, padahal sebelumnya saya sudah tau berapa uang yang harus dikeluarkan dan dikumpulkan sebelum membelinya. Karna tidak mungkin saya minta dengan orang tua lantas berbicara bahwa saya ingin membeli boneka untuk seorang gadis.
Rumahnya searah dari rumah saya ketika pulang dan berangkat sekolah. Sampai disana tepat didepan rumah itu. Saya bingung harus berbuat apa. Sungguh, hal yang memalukan. Beberapa kali saya singgah kemudian melewatinya lagi, singgah kemudian melewatinya lagi. Entah berapa kali hal yang sama saya lakukakan. Kini saya berhenti tepat dirumahnya lagi. Saya berdalih menarik lengan panjang dari sweater yang menampakkan jam tangan yang sudah menununjukkan pukul setengah enam. Mengapa tidak, dari tadi saya selalu diperhatikan oleh penjual warung sop saudara yang berada di depan rumahnya seperti perampok yang bersedia menghabiskan seisi rumah yang ada didepan ini. Dia selalu berdiri didepan warung itu. Mengipas ikan bakar yang ada didepannya, sambil pura-pura melirik satiap gerakan saya.
Sungguh, pemandangan yang sangat bodoh.
Adzan maghrib telah bergema menelusri langit-langit bumi. Kini saya benar-benar benci dengan situasi ini. Setelah beberapa kali melakukan hal yang sama. Saya memutuskan untuk menyerah, menghapus seluruh rencana bodoh itu. Saya melewati rumahnya memandangi teras depan rumahnya yang selalu kosong saat sore. Kemudian menoleh ke arah warung itu, penjual itu tetap disana, menatap seakan berkata 'aman, akhirnya si perampok pulang...'
***
Malam ini adalah malam hasil kepengecutan saya dari sore tadi. Bulir-bulir hujan perlahan mengenai genteng rumah. Saya berbaring diatas kasur menatap langit-langit kamar dan meratapi kegagalan. Besok saya akan berangkat. Apakah saya harus memikirkan kegagalan ini setiap saat bertanding? Ini hanya akan menjadi hambatan. Saya harus menyelesaikan urusan sore tadi, malam ini. Tiba-tiba sebuah ide melintas dalam benak saya.
Diluar hujan dan waktu kini menunjukkan pukul 20.35. Kini saya kembali keluar melanjutkan kegagalan sore tadi. Dengan memakai jaket hitam. Boneka itu saya masukkan kedalam tas agar tidak basah. Tubuh saya basah, jalanan sangat gelap malam ini dan helm penuh dengan butiran-butiran hujan.
Kini saya berhenti tepat didepan rumahnya. Suasana sore tadi sama sekali tidak berubah. Didepan rumahnya tetap berdiri seorang penjaga warung yang mengipas ikan bakarnya, saya tidak menoleh. Takut dia akan menyadari kedatangan 'perampok' ini. Saya mengeluarkan ponsel mengirim sebuah pesan.
Saya : Kamu dimana?
Beberapa menit kemudian
Aisyah : Dirumah.
Saya : Bisa tidak kamu keluar sebentar?
Beberapa menit kemudian
Aisyah : Keluar darimana, untuk apa?
Saya : Rumah, saya ada diluar
*Pesan gagal terkirim*
Sungguh. Tuhan sepertinya memberi banyak cobaan hari ini. Percakapan itu berhenti tepat saat pulsa saya habis. Sang penjaga warung sekarang menatap ke arah sini, menyadari keberadaan saya selarut ini. Dia kini benar-benar curiga.
Hujan bertambah deras membasahi seluruh tubuh membuat rambut menguntai basah. Tas saya peluk dan lindungi dengan tubuh. Tidak ada cara lain, saya melangkah turun dari motor. Melangkah perlahan memasuki pekarangan rumahnya. Sampai diteras. Saya mengeluarkan boneka itu dari dalam tas. Menaruhnya tepat di teras itu, tanpa terkena hujan. Saya kemudian melangkah kembali. Melihat Si penjaga warung yang menatap sayup-sayup, saya kembali menatapnya, tersenyum.
Saat pulang, saya segera mengisi pulsa Handphone yang sempat habis tadi. Memberanikan diri menelponnya untuk pertama kali. Kemudian saya duduk diluar rumah menunggu panggilan diangkat, tanpa sadar masih memakai seragam yang masih basah. Tangan saya bergetar, jantung saya berdetak kencang sekali. Bukan karna kedinginan. Hanya karna dia mengangkat telpon ini untuk pertama kalinya.
Saya : Halo?
Aisyah : Iya?
Saya : Kamu dimana?
Aisyah : Di kamar sama sepupu.
Saya : Bisa tidak kamu keluar sebentar, ada makhluk lain yang menunggu kamu
diluar... (saya tersenyum)
Aisyah : Ahh, takut
Saya : Hehehe, bercanda kok, keluar saja sebentar
Aisyah : Oiya, tunggu...
Saya : Bilang kalo sudah didepan pintu yaa
Aisyah : Hmm..
Hujan mulai mereda, tapi tubuh saya malah bertambah dingin. Belum pernah saya menelpon orang yang benar-benar saya cintai selama ini. Saya melihat timernya sudah lewat satu menit. Ini sejarah.
Aisyah : Ini sudah didepan pintu
Saya : Buka pintunya
Aisyah : Iyaa,..
Saya : Sudah?
Aisyah : Iyaa, trus?
Saya : Hadap kiri, trus maju ke teras kamu
Seketika dia tidak menjawab apa-apa.
Aisyah : Astaga,...
Saya : Sudah dapat?
Aisyah : Iyaa, tapi ini untuk apa?
Saya : Entahlah, anggap saja sebagai hadiah dari orang yang kesurupan, hehehe
Aisyah : Oo, hahahh, makasih kak
Saya : Sama-sama
(saya tersenyum sendiri, entah karna apa)
Saya kemudian menutup telpon dan mengirim sebuah pesan singkat Namanya Mrs Pinky di jaga baik-baik yaa :)
Malam itu perasaan saya buncah akan kebahagian, hati saya sempurna layaknya seorang pemuda yang kembali merasakan jatuh cinta. Besok saya siap berangkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segelas Susu
Non-FictionSegelas Susu adalah kumpulan cerita pengalaman pribadi saya. Saya mengarsipkan sebagian ingatan itu di sini. Tentang penolakan, melepaskan, dan mengikhlaskan yang tidak bisa dipaksakan. Sebagian pernah dimuat di blog. Sisanya saya buang ke dalam tu...