SESAPAN 6 - Seragam

117 14 3
                                    

Saya mengenalnya lewat salah satu teman yang bernama Siti (nama samaran). Siti adalah teman SMA saya dan kebetulan kami satu kampus. Siti punya teman yang cantik jelita yang bernama Badriah (kok jadi Siti Badriah). Oke, ganti. Namanya Juwita.

Awalnya kami (baca: saya dan Juwita) saling follow-follow-an di instagram.

Dua minggu berlalu, kami sering chat-chat-an.

Dua bulan berlalu. Saya mulai bosan dengan statistik chat-nya yang tidak mengalami peningkatan signifikan. Kayaknya dia tidak sadar kalo sebenarnya saya ini ganteng.

Demi menyadarkan betapa ganteng-nya saya ini. Saya mulai memberanikan diri mengajaknya ketemuan dengan modus berjudul 'Nonton bioskop'. Awalnya dia takut kalo cuman diajak sendirian. Dia mau ikut dengan syarat: teman saya si Juwita juga diajak. Saya pun mengiyakan.

Syarat ini lumayan ringan dibanding syarat awal yang dia tawarkan yaitu; Saya harus mengajak semua teman kelasnya untuk ikut. Jumlah teman kelasnya lumayan banyak. Salah sedikit bisa membuat saya hidup dengan satu ginjal.

Singkat cerita kami ketemu di bioskop. Dengan membawa satu teman masing-masing. Iya, Saya akhirnya juga bawa teman, namanya Aan.

Saya membawa teman dengan alasan saya takut tidak bisa mencairkan suasana. Dengan kehadiran Aan ini diharapkan semua ke-keren-an terpusat pada saya.

Mengingat ini pertama kalinya saya men-traktir seorang gebetan, saya mempersiapkan amunisi yang digali dari celengan dan bantuan dari kantong Aan.

Setelah itu kami memesan tiket dengan jadwal tayang pukul sembilan malam. Lewat dari rencana awal kami yang jadwalnya nonton paling lambat jam delapan malam. Soalnya kata Siti, Juwita dilarang pulang larut malam. Nasi sudah menjadi bubur. Mau tidak mau dia harus pulang larut.

Sementara menunggu jam tayang, diluar dugaan kami diajak makan oleh mereka (baca: Siti dan Juwita). Ini diluar perencanaan anggaran yang akan saya keluarkan. Siklusnya :

Beli tiket - Beli Pop corn - Pulang.

Berubah menjadi :

Beli tiket - Makan direstoran - Beli Pop corn - Pulang.

Perasaan saya mulai tidak enak.

Saya langsung mencolek Aan. Mengingat rasa-rasanya uang saya kayaknya cuman cukup buat beli secangkir Iced Tea with Yellow Lemon alias Teh Jeruk Nipis itu.

Sementara kedua perempuan itu berjalan didepan kami. Perlahan saya berbisik sama Aan.

'Eh, uang mu berapa disitu?'

'Tenang, cukup kok disini' dalam hati saya mengucap hamdalah. Tidak rugi saya memanggil pabrik uang satu ini. Saya lanjut bertanya

'Bdw, uang yang kau bawa memangnya berapa?'

'50 ribu.....'

MAMPUS!

Sampailah kami di restoran. Usaha saya ditengah perjalanan dengan cara menunjuk-nunjuk tempat makan yang lebih murah sia-sia.

Kami duduk berhadapan, saya menghadap ke Juwita dan Aan menghadap ke Siti.

Demi memangkas pengeluaran yang berlebih, saya dan Aan waktu itu cuman memesan minuman, sedangkan mereka pesan makan dan minuman.

"Kalian nda makan?" tanya Juwita.

"Ahaha, nda. Sudah kenyang. Tadi sempat makan di kampus" jawab saya dengan penuh dusta.

"Kalo begitu saya makan ya" kata Siti

Sungguh, kedua perempuan ini sama sekali tak menawarkan buat makan sepiring berdua.

Saat itu, Aan menahan gempuran rasa laparnya dengan melihat-melihat foto makanan di instagram yang sedang dia buka. Kami hanya bisa menelan ludah.

Selesai makan, kami cerita-cerita. Siti teman SMA saya tanpa saya duga sangat agresif menyerang Aan dengan berbagai pertanyaan. Sedangkan saya cuman memandang Juwita. Walaupun Juwita memandang smartphone-nya.

Ketika pelayan datang membawa bill, saya melihat total semua pesanan jumlahnya sebesar 200 ribuan lebih. Dengan sigap saya mencolek Aan. Kami mengotak-atik kantong celana masing-masing. Dibawah meja, kami mengumpulkan uang. Aan memperlihatkan uang 50 ribunya. Saya memperlihatkan uang tujuh ribu kepada Aan. Totalnya cuman 57 ribu. Kami saling menatap sejenak lalu menahan tawa.

TOLONG KAMI YA ALLAH!

Disitu saya langsung ke plan B, yaitu BSS (Bayar Sendiri-Sendiri). Kalo kami tidak bisa mentraktir mereka, setidaknya kami bisa menyelamatkan harga diri kami.

Setelah uang kami bersatu ditangan Aan. Aan lalu mengangkat gumpalan tangannya untuk membayar, tetapi langsung dipotong oleh Siti bagai petir dipagi hari.

'SEMUANYA SUDAH SAYA BAYAR......'

***

Kami selesai nonton jam 11 malam. Saya mengantar Juwita pulang naik motor sedangkan Siti pulang dengan mobilnya dan Aan ikut dengan saya sebagai tumbal jika nantinya ada begal.

Ditengah perjalanan mengantar Juwita saya ingin banyak mengobrol soal film yang tadi kami tonton. Tapi nasib. Sepanjang perjalanan itu juga, dia membangun tembok besar dengan modus 'menelpon' entah siapa. Lagi-lagi usaha saya dirusak oleh sebatang gadget.

***

Dua bulan setelah pertemuan laknat itu. Keadaan berubah 315 derajat. Aan yang sudah mulai menyukai Siti semenjak pertemuan itu, perasaannya perlahan tercabik-cabik setelah mengetahui kenyataan pahit bahwa: Siti telah MENIKAH.

Bagaimana dengan saya?

Ya, tentu. Dengan modal mentraktir seorang gebetan untuk nonton tidak menjamin seseorang itu akan suka sama kita, kecuali kalo kita beliin Lamborghini.

Semenjak pertemuan itu, Juwita jadi tambah jarang membalas chat saya. Kadang chat saya satu paragraf, dibalas cuma satu kata. Voice note cuman dibalas emoticon. Dari sikap yang dia tunjukkan, kemungkinannya cuman dua. Dia tidak suka sama saya atau dia memang tidak suka sama saya.

Belakangan sepotong hati ini ditemukan tewas membusuk akibat 99 tusukan didada setelah melihat layar foto instagram Juwita bersama seorang lelaki berseragam.

***

Disepotong kisah yang gagal kesekian kalinya ini, saya belajar bahwa perempuan butuh seseorang yang menjamin kehidupannya layak dimasa depan. Laki-laki yang bisa menjamin rumah bagi calon istrinya.

Mungkin itulah biasanya kebanyakan perempuan lebih suka dengan lelaki yang berseragam. Selain karna ganteng dan gagah, lelaki berseragam katanya memiliki masa depan yang cerah dan terjamin oleh negara.

Kasihan juga ya, Mahasiswa. Dengan harapan dan masa depan yang tak pasti. Apalagi kalo berbicara tentang penderitaan skripsi. Berjuang sarjana, demi masa depan sang calon istri.

Saya jadi ingat salah satu dialog di novel Sabtu Bersama Bapak karya Adhitya Mulya.

Ketika itu Ibu dari Cakra salah satu tokoh di novel Sabtu Bersama Bapak berkata.

'Ka (Cakra), Istri yang baik gak akan keberatan diajak melarat'

'Iya, sih. Tapi Mah, suami yang baik tidak akan tega mengajak istrinya untuk melarat'.

Mulai dari sini. Saya mulai paham dengan apa yang dikatakan Cakra.

Segelas SusuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang