Usia saya sekarang sudah 19 tahun. Selama masuk dunia kampus, saya tidak pernah berpikiran untuk menjalin hubungan dengan siapapun. Patah hati terakhir membuat saya trauma untuk membuka hati kembali. Terlalu beresiko rasanya mempertaruhkan harga diri terhadap seseorang yang bahkan tidak pernah peduli.
"Jangan-jangan lo homo Rey"
Adi kembali menyerang saya dengan statement yang ingin saya setujui.
"Walaupun berubah jadi homo. Saya tetep gak laku di"
"Jadi bener, lo homo?"
Saya memegang tangannya dengan lembut.
"Iya, sayang"
"Tai"
Sudah dua jam lewat kami ngobrol di Kedai kopi ini. Adi terakhir bercerita tentang kegelisahannya karna sudah hampir setahun menjomblo. Dan saya sesekali sibuk membanding-bandingkan nasib asmara diri sendiri yang lebih buruk dari kisah asmaranya.
Obrolan pendek malam itu berakhir sampai dini hari.
Sampai di rumah saya mengambil secarcik kertas. Menulis besar-besar diatasnya "TARGET UMUR 19 TAHUN". Di poin pertama, saya menulis 'Membaca 50 buku', poin kedua 'KKN', poin ketiga 'Belajar hitung RAB bangunan'. Sampai situ, saya kembali berpikir, hal apa yang harus dan penting saya capai sebelum menginjak umur 20 tahun.
Saat itu saya kembali teringat dengan obrolan bersama Adi barusan di Kedai kopi.
"Menurut saya, pacaran itu penting sih, Rey"
"Hmm" saya kembali menyeruput cappuccino yang sudah dingin itu.
"Dari pacaran dengan beberapa perempuan, saya jadi ngerti. Ternyata tidak semua perempuan itu sama, Rey"
"..."
"Kita tidak akan pernah tahu bagaimana sifat calon pasangan kita kalo gak pernah pacaran. Baik, buruknya itu, nanti kita bakalan tau pas pacaraan"
"Semua orang juga bilang gitu sih"
"Terus, kenapa masih jomblo?"
"Gak ada yang cocok"
"Sok jual mahal lo. Kayak ganteng aja" Adi kembali menghembuskan asap rokoknya.
"Pacaran, pacaran aja kali. Cocok atau nggaknya itu belakangan. Daripada lo gak punya pengalaman menjalin hubungan sama siapapun sebelum nikah. Takutnya kan lo gak biasa"
"Gak biasa, maksudnya?"
"Ya, gak biasa menghadapi sikap perempuan yang selalu berubah-ubah. Asal lo tau aja ya, perasaan perempuan itu kadang baik kadang gak baik. Ada satu waktu mereka kayak seneng banget gitu. Terus beberapa lama kemudian jadi pendiem. Entah ngambek atau gimana, kita sebagai laki-laki harus bisa terbiasa dengan hal-hal seperti itu"
Saya kembali menyeruput cappuccino dingin itu. Perkataan Adi ada benarnya juga. Bagaimana nanti kalo punya pasangan saya tidak terbiasa dengan sikap nya? Bagaimana jika karna saya terbiasa sendiri, saya tidak akan bisa terbiasa hidup berdua?
"Lagian, Rey. Beberapa tahun lagi kita bakalan wisuda. Nggak mau lo sidang skripsi ada yang nemenin?"
Getaran ponsel yang ada di meja sebelah kanan, kembali mengingatkan saya pada realitas yang ada. Saya membuka ponsel. Isinya pemberitahuan pesan masuk. Hanya beberapa ucapan selamat ulang tahun dari beberapa teman.
Saya kembali pada selembar kertas yang ada diatas meja. Mengambil satu biskuit lalu menjepitnya dengan bibir.
Di poin ke empat, to do list "TARGET UMUR 19 TAHUN" itu, saya menulis satu target dengan penuh harap.
Isi target itu adalah ; 'Dapat Pacar'.
Semoga saja tidak ada lagi jatuh cinta yang berakhir patah hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segelas Susu
Non-FictionSegelas Susu adalah kumpulan cerita pengalaman pribadi saya. Saya mengarsipkan sebagian ingatan itu di sini. Tentang penolakan, melepaskan, dan mengikhlaskan yang tidak bisa dipaksakan. Sebagian pernah dimuat di blog. Sisanya saya buang ke dalam tu...