"Boleh saya ambil gelasnya nya mas?"
Sudah waktunya ya.
Sebenarnya masih banyak yang ingin saya ceritakan padamu. Tapi perempuan ini, sepertinya tidak rela melihat dirimu yang sudah kering sendirian.
"Iya. Silahkan"
Sampai jumpa. Semoga kita bertemu kembali.
***
Hari ini saya resmi berumur 20 tahun. Ya, kau benar. Saya belum pernah pacaran.
Sendirian membuat saya seperti orang yang sudah hilang kewarasan. Apa yang barusan saya lakukan? Menghayal sedang berbicara dengan segelas susu? Jomlo kalo lagi sendiri memang bisa se-halu ini ya.
Saya memasukkan semuanya kedalam tas. Laptop, notebook, pulpen lalu memasang headset di telinga. Memutar lagu secara acak menuju kasir.
"Berapa mas?"
"Semuanya 80 ribu pak"
Menyebalkan. Padahal cuman pesan pisang goreng dan segelas susu hangat. Perut masih lapar, gengsi yang kenyang. Menjadi anak gaul dan kekinian memang melelahkan dan menghabiskan uang.
Di luar mendung. Saya membuka kunci motor. Memakai jaket dan helm. Menyalakan mesin lalu menyusuri jalan pulang yang masih agak lengang walaupun jam sudah menunjukkan lewat pukul 10 pagi.
Di tengah perjalanan sebuah intro lagu yang tidak asing mengalun dari headset yang terselip di balik helm saya.
Yesterday, all my troubles seemed so far away
Now it looks as though they're here to stay
Oh, I believe in yesterday
Ini lagu dari The Beatles. Saya menghela nafas. Memandang sekitar. Papan iklan, bangunan tinggi, orang-orang asing di trotoar, dan merasakan dinginnya angin yang membelai kulit. Seperti ini ya rasanya menginjak umur 20 tahun.
Selama itu saya menghabiskan waktu untuk menaruh hati pada orang lain lalu lupa untuk mengambilnya kembali.
Beberapa cerita mungkin tidak harus di tutup dengan jawaban. Ada saatnya, ketika keadaan sudah tak lagi bisa di paksakan, menutupnya dengan keikhlasan bukanlah pilihan yang buruk. Hari ini saya belajar mengikhlaskan.
Sekarang yang bisa saya lakukan adalah berhenti membanding-bandingkan dia yang sudah datang dari masa lalu dengan seseorang yang dititipkan sang pencipta di masa depan.
Memasuki kawasan perkotaan, saya melewati garis awan yang malah membuat hujan makin deras. Seperti membatasi dunia kering dan dunia hujan.
Jaket dan celana saya mulai basah. Saya membelokkan motor untuk berteduh ke depan sebuah ruko yang masih tutup. Membuka helm, lalu mengusap-usap jaket dan celana yang sudah terlanjur basah.
Saya berdiri di depan ruko sendiri, mengamati hujan yang membasahi jalan. Bau khas hujan perlahan mulai menyeruak memasuki ruang-ruang pikiran. Petrichor.
Di seberang jalan sana, satu persatu pengendara motor berhenti untuk memakai jas hujannya. Setelahnya beberapa pengendara motor juga ikut singgah di tempat saya berteduh. Menghilangkan ketenangan, menambah kegaduhan.
Seorang bapak mengeluarkan jas hujan lalu memakainya.
"Tutup kepala kamu pake ini" bapak itu mengangkat jubah belakangnya, lalu menutup kepala dan badan anak laki-laki dibelakangnya agar tak terkena hujan.
"Peluk yang erat ya" bapak itu mulai pergi.
Seorang lagi memakai jas hujan sendiri, lalu berangkat sendiri.
Saya kembali menatap jalan. Membangiktkan kembali khayalan-khayalan tentang apa yang harus dilakukan di umur ke 20 tahun.
Bagaimana kalo menulis satu buah buku? Daripada semua perasaan ini diam di tempat, lebih baik saya menulisnya, menuangkannya ke dalam naskah, membagikannya kepada seseorang dan berharap cerita ini akan sampai padanya.
Di samping saya, yang tersisa tinggal seorang perempuan ber-sweater merah. Dia sedang menyilangkan tangannya ke siku. Entah kedinginan, entah sedang menyombongkan diri.
Beberapa kali mata kami sempat bertemu. Rambutnya pendek sebahu, ada tahi lalat kecil yang menempel di samping kanan dagunya.
Why she had to go I don't know she wouldn't say
I said something wrong, now I long for yesterday
Alunan lagu itu terus terdengar, tak tergantikan. Kami berdua berdiri sambil menatap jalan. Diam, saling menunggu keberanian untuk membuka obrolan.
"Kamu sendiri ya?" saya akhirnya memulai.
"Iya, kenapa?" dia seperti baru tersadar dari lamunan.
"Kamu sendiri?"
"Oh, iya" dia menjawab sambil tersenyum
"Kedinginan ya?"
"Iya, padahal sudah pake sweater"
"Jangan dilawan"
"Lawan apanya?"
"Dinginya, jangan dilawan. Nanti tambah menggigil."
"Hehe, iya. Tapi cuacanya tetap dingin"
Saya kemudian membuka jaket lalu memasangkan di kedua pundaknya. Awalnya dia agak menjauh. Mungkin karena kaget.
"Eh, tidak usah"
"Santai, ini jaket saya. Masih kering kok" saya tersenyum menatapnya.
"Terima kasih, maaf jadi merepotkan"
"Bagaimana? Masih kedinginan?"
Dia diam, barangkali masih memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjawab.
"Masih, tapi sudah agak mendingan. Terima kasih ya"
"Kalo begitu, saya temenin ngobrol. Biar tidak tambah dingin"
"Kalo masih tetap kedinginan bagaimana?"
"Berarti kamu gugup karna merasa sedang berbicara dengan orang asing"
Dia hanya tersenyum.
"Rey" saya menjulurkan tangan
"Saya..."
***
"Mas, mas, Motornya tolong dipinggirin. Mobil mau masuk"
Suara klakson itu tiba-tiba membuyarkan lamunan saya. Kami berdua masih berdiri diam menatap jalan seperti dua orang asing yang saling melawan ketakutan untuk berkenalan. Saya langsung bergegas menuju motor, menyalakan mesinnya lalu melaju melawan hujan yang membasahi.
Now I need a place to hide away
Oh, I believe in yesterday
Mm mm mm mm mm mm mmPerlahan lagu dibalik headset itu menghilang. Saya menyesali sesuatu. Sesuatu yang menunggu keberanian untuk diselesaikan. Mungkin besok atau lusa. Atau mungkin saja tidak.
Mari kita lihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segelas Susu
Non-FictionSegelas Susu adalah kumpulan cerita pengalaman pribadi saya. Saya mengarsipkan sebagian ingatan itu di sini. Tentang penolakan, melepaskan, dan mengikhlaskan yang tidak bisa dipaksakan. Sebagian pernah dimuat di blog. Sisanya saya buang ke dalam tu...