[NEW VERSION]
Sudut pandang seorang Cyerin sebagai pacar seorang Paskal yang luar biasa. Luar biasa ngeselin dan jauh dari kata dewasa.
P.S There is no exact time and storyline every chapter of this work. If you are curious about them more, read the...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mata Paskal masih mengirim tatapan menusuk ke arahku. Terkadang helaan napas kasar terdengar dari arahnya, menunjukkan betapa frustasi ia sekarang padaku.
"Mau ngapain sih ke stationary?" cecarnya seraya mengacak rambut berantakannya yang entah belum dikeramas berapa hari itu.
Aku berdecak atas pertanyaan Paskal yang nggak mutu itu. Padahal jelas-jelas dia udah tahu jawabannya, masih aja pakai tanya. "Ya beli alat gambar lah, mau ngapain lagi? Aku mau beli drawing pen sama buku sketsa."
Hampir saja Paskal membakar lintingan bernikotin yang diambilya dari meja sebelah kami, kalau aku tidak memelototinya. Setengah hati ia menaruh kembali sesaji utamanya kalau sedang kesal dan menyender pasrah ke bangku tunggal di teras kontrakannya.
Saat kupikir Paskal sudah melunak, ternyata tak berapa lama ia kembali memutar badan menghadap aku sambil menunjukkan wajah yang jelas-jelas belum mau kalah denganku. "Maksud aku, emang harus sekarang banget?"
"Aku udah janji nemenin Dira. Punya aku juga udah mau abis, makanya sekalian."
"Pinjem Rendy dulu aja kenapa sih?"
"Ya nggak bisa lah. Itu sih alat tempur berharganya kita-kita. Mana rela sih, Kal, bagi-bagi."
Dan, akhirnya kita kembali lagi ke sini. Perdebatan antara Cyerin dan Paskal yang ke-sekian.
Dari sepuluh angka, bisa aku tebak kekesalan Paskal sekarang mungkin sudah menyentuh angka delapan lebih. Terlihat dari tangannya yang bergerak sembarangan membuka kemeja motif garis miliknya, lalu meletakannya asal di pegangan kursi. Hingga kini hanya tersisa kaus hitam polos di tubuhnya.
"Yaudah nanti aku ganti punya Rendy. Gitu aja kok susah."
Bukannya tenang karena perkataan Paskal, kepala dan hatiku malah makin panas. Si bongsor ini lemes banget kalau ngomong.
Aku tahu maksud Paskal pasti baik, menawarkan solusi. Tapi lama-lama kesal juga kalau jalan keluar yang ia tawarkan seringkali hanyalah jalan keluar instan yang selewat melintas di pikirannya. Kentara banget malas memperpanjang masalah.
Aku menggeleng cepat sebagai balasan. "Nggak mau lah! Emang kamu siapa aku, sampe kayak gitu."
Mendengar pernyataanku yang menantang itu, Paskal mengangkat kepalanya yang sempat teralih memandangi pagar di depan kami menjadi ke arahku. "Seriously, Cyer?"
Oke, kadar kemarahan Paskal sekarang pasti udah memasuki level 10/10.
Dan aku yakin ucapanku selanjutnya akan semakin meningkatkan emosi Paskal. Tapi bodo amatlah, lagi bete aku. Jadi apapun itu yang keluar dari mulutnya akan aku debat sampai akhir.
"Baru pacar kan? Aku nggak mau ya kamu sampe keluarin uang buat kebutuhan aku gitu, Kal. Aku ini belum jadi tanggung jawab kamu."
Amarah yang menelusup dari dalam dada mulai merambah naik, kerongkonganku ikut terasa panas. Ternyata marah itu bikin haus ya.