[NEW VERSION]
Sudut pandang seorang Cyerin sebagai pacar seorang Paskal yang luar biasa. Luar biasa ngeselin dan jauh dari kata dewasa.
P.S There is no exact time and storyline every chapter of this work. If you are curious about them more, read the...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku berkeliling dari satu booth ke booth lainnya. Dari yang menjajakan makanan hingga berbagai aksesoris yang tidak aku ketahui kegunaannya. Terlalu banyak. Semua mahasiswa kampus mungkin tumpah ruah kemari. Menghabiskan malam sabtu mereka mengunjungi acara tahunan yang keberadaannya stabil dari tahun ke tahun. Stabil ramainya.
Fakultas Pertanian, setiap merayakan ulang tahun selalu mengadakan festival UMKM selama satu minggu penuh yang kemudian ditutup dengan panggung kesenian yang dibuka untuk umum. Dari tahun ke tahun pula, Technicians dapat slot untuk tampil.
Keputusanku untuk datang ternyata tidak berubah. Sampai aku turun di halaman utama pertanian yang sudah disulap menjadi tempat hiburan yang meriah, aku tetap memutuskan untuk datang. Meskipun sejak tadi Paskal pamit bersiap di backstage, aku tidak lepas begitu saja dari kegugupan dan ketakutan yang membayang.
Bukan aku tidak biasa dengan keramaian. Mas Indra selalu membiasakan aku dengan keramaian ketika kami bersama dulu. Menyertakan aku dalam setiap kegiatan dan lingkaran pertemanannya. Tapi aku takut, kalau harus ada pihak lain yang menyeruak masuk. Lagi.
Tiba-tiba aku merasakan tote bag di pundakku tertarik ke samping. Kalau saja tidak menemukan wajah datar Rendy yang menjadi tersangka penarikan tasku, mungkin botol minum di tangan kiriku sudah melayang ke arah kepalanya.
"Ayo backstage." Rendy menjawab tatapan galak dariku dengan peringatan untuk menyambangi backstage. Paskal yang tadi menyuruh kami pergi kesana, tiga puluh menit sebelum slot tampil Technicians yang tertulis di rundown.
Aku berusaha menyamai langkah Rendy. Di kanan dan kiri banyak sekali pemandangan yang menarik perhatian, tapi satu-satunya hal yang menyita pikiranku kali ini adalah bagaimana suasana di belakang panggung nanti. Saat aku mungkin akan bertemu dengan orang-orang di sekitar Paskal yang belum pernah aku kenal sebelumnya.
Berhadapan dengan orang asing selalu membuat aku gugup. Aku tidak pernah tahu apa isi kepala mereka, bagaimana mereka menilai aku, dan apa yang ingin mereka perbuat.
Langkah kakiku terhenti saat Rendy lebih dulu melakukan hal yang sama. Kami sudah tiba di depan pintu salah satu ruang kuliah yang sudah dialih fungsikan menjadi tempat bernaung para pengisi acara. Sementara Rendy berbincang dengan seseorang yang memakai tanda pengenal panitia di leher, aku mengamati sekeliling.
Koridor penuh dengan orang yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Mayoritas panitia sedang hilir mudik menyiapkan deretan hiburan yang sebentar lagi akan dimulai.
Pandanganku otomatis turun ke lantai, ketika segerombol panitia perempuan lewat dengan mimik penuh tanya pada aku dan Rendy, yang tidak mengenakan seragam serupa milik mereka, yang bukan pula wajah-wajah familiar salah satu pengisi acara. Mungkin mereka pikir siapa kami, yang tidak berkepentingan ini, menerobos masuk area belakang.