Colony

76 2 1
                                    


(Para pembaca yang sangat saya sayangi, Rama baru kembali ingin bercerita tentang kisahnya. Harap dimaklumi ya dan terima kasih sudah menjadi pembaca setia!)

15 Mei 2015

"Kak, aku ga pulang ya sama kamu. Aku mau pergi dulu sama temen-temen dianterin Dion. Nanti aku kabarin, kalau ga jemput aku di Colony!"

Begitulah pesan singkat yang gue terima ketika gue memeriksa layar iPhone gue saat sesi kelas telah selesai.

"Jadi jemput adek lo ga?" Tanya Diny sambal berjalan menuju anak tangga ke lantai dasar

Gue hanya menggelengkan kepala kepadanya.

Langkah kaki ini pun menuju ke mobil, namun tentu gue tidak ingin pulang karena menunggu Alya selesai. Dalam benak ini, rasanya ingin sekali menggerutu di depan wajah Alya karena perubahan sikapnya. Namun setiap kali gue berdiri atau melihat sosok gue di depan cermin, gue sadar bahwa gue pun juga mempunyai sifat pemberontak. Bedanya, gue memahami batasan yang harus gue tepati dan jangan langar apa yang nyokap dan bokap bilang.

Sementara Alya..... tidak ada yang berani atau tidak lagi bias keras terhadapnya. Semakin dia dibentak, dia akan melawan. Tidak dengan kata-kata, namun dengan sikapnya. Semakin dia digenggam, dia akan semakin lepas dari genggaman. Gue pelan-pelan selalu mencoba memberikan semacam perspektif kepada nyokap tentang perubahan Alya, meski terkadang gue juga gemas dengannya

Karena jalanan cukup macet dan padat, gue lebih senang memutarkan lagu yang ada di iPod jaman gue masih SMP. iPod ini isinya ada hampir seribu lagu, dan banyak sekali lagu-lagu band gue yang masih dalam format demo. Sambil mendengarkan lagu-lagu lawas gue, ada satu titik dimana lagu bisa membawa kita ke masa lalu. Lagu bukan kendaraan, tetapi lebih sebagai perantara untuk membawa kembali kenangan-kenangan yang telah jauh berlalu. Mendengarkan satu lagu tertentu bisa membuat diri kita seolah kembali mengulangi kejadian yang telah lewat.

Ada satu lagu yang sering diputar oleh Alya melalui iPod ini, karena dia menguasai playlist yang ada di iPod gue yaitu lagu Pelangi dari Hivi!. Ketika gue tanya kenapa dia suka lagu itu, jawabannya simpel:

"Karena.... Halus dan melodikal..."

"Maksudnya?"

"Coba deh kak baca liriknya. Cara dia bikin lirik dari perumpamaan atau kiasan menuju pesan sebenarnya tuh halus. Melodikal tuh, kalau dinyanyiin tuh ya sing along gitu meski ini lagu temanya sedih gitu..."

"Oh gitu...." Gue hanya memberikan reksi seperti ini karena masih sedih bukan lagu gue yang dijadiin favoritnya

"Band kamu bikin lagu kaya gitu juga dong kak!"

Gue hanya mengiyakan saja. Tapi memang lagu Pelangi itu sangat indah.

Apalagi Neida sangat can.... Eh lah malah cerita ke yang lain.

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 19:35. Sambil menanti Alya, gue akhirnya duduk di Starbucks Kemang yang posisinya persis di sebrang McDonald. Ini adalah lokasi di mana gue bisa duduk tenang tanpa diganggu siapapun. Di sini, gue bisa berpikir jernih. Bisa membuat lagu ataupun bisa membuat suatu karangan cerita.

Secangkir Hot Americano dan satu porsi Glazed Doughnut menjadi santapan malam. Gue pasang earphone dan segera membuka Macbook untuk menyalakan Skype. Kebetulan Gina sedang tidak ada kelas siang ini sehingga bisa gue hubungi dia.

Rindu juga hati ini dengan pelukannya

"Sayang!" teriak dia kencang, membuat telinga gue pengang

PsycholoveWhere stories live. Discover now