Maret 2015,
Akhir pekan pertama di bulan Maret pun tiba, dan hari Sabtu ini gue harus manggung di Piazza Gandaria City. Karena sekalian peluncuran albumnya The Generation of Y yang baru, jadinya gue harus memenuhi agenda untuk bertemu langsung dengan fans. Belum lagi ketika harus menemui wartawan dan bakal diterjang berbagai pertanyaan, dan banyakan sih kalau yang meliput dari wartawan TV acara gosip yang sering ada setiap pagi atau sore, nanyanya bukan tentang album lagu, tapi cenderung ke kehidupan pribadi.
Gue sadar, menjadi seorang bintang bukanlah tujuan akhir gue. Begitu pula dengan Wendi dan Emil. Kami adalah orang-orang yang memprioritaskan pendidikan sarjana hingga pasca-sarjana. Wendi punya mimpi untuk bisa lanjut kuliah musik di Los Angeles, Emil ingin melanjutkan sekolah tentang ekonominya di Belanda, dan gue juga ingin melanjutkan kuliah gue di luar sana. Kami bertiga cukup bersyukur bahwa musik mampu menghidupi kami dan perlahan-lahan lepas dari orang tua khususnya untuk urusan finansial.
Misalnya, ketika gue ingin pergi ke mana pun, gue sudah tidak lagi minta uang ke nyokap. Bahkan gue ingin sekali membiayai uang kuliah gue sendiri dengan alasan agar nyokap dan bokap focus mengurusi biaya pendidikannya Alya. Namun bokap gue menolak dengan satu alasan tertentu
"Kamu masih jadi tanggungan papa selama kamu tinggal di sini dan belum menikah. Papa juga masih mempunyai kewajiban 'menginvestasikan' kamu paling tidak sampai S2 nanti. Untuk pemasukan kamu, kamu tabung buat masa depan kamu."
"Lalu bagaimana dengan papa sama mama? Apakah sudah menabung ketika nanti papa pensiun?" Tanya gue ketika membahas masalah finansial kami
"Hahaha makanya papa bekerja sekarang, biar ketika tua nanti papa dan mama tidak merepotkan kamu dan Alya."
Jawaban itu membuat gue berpikir dua hal: satu, gue harus rajin menabung untuk menginvestasikan diri gue dan keluarga gue; kedua, gue harus punya tabungan cukup seandainya gue atau Alya atau nyokap dan bokap sedang butuh dana.
Dari bermusik, gue mendapatkan pemasukan yang luar biasa untuk seumuran gue meski tidak stabil layaknya kerja kantoran. Oleh karena itu, kami bertiga tidak bisa menjamin masa depan kami di musik. Ada kalanya kami berpikir kalau stabilitas ekonomi keluarga itulah yang kami butuhkan untuk kepentingan keluarga masing-masing.
Lalu, apakah keluarga yang gue maksud itu adalah rumah tangga gue dengan Gina? Gue tidak bisa menjawabnya.
"Gina gimana Ram kabarnya?" Emil bertanya ke gue sambil meneguk air mineral yang disediakan oleh kru kami
"Fine fine aja kok!"
"Yakin?" tiba-tiba Wendi menimpalinya
"Yaaa......"
Sejujurnya gue tidak terlalu yakin dengan jawaban itu
"Gue sering banget dia posting foto sama cowo lain dah di sana..." Wendi menambahkan kalimat praduganya.
"Sudahlah, gue engga mau mikirin itu dulu. Gue mau dia focus sama pendidikan dan sama kesembuhan nyokapnya." Jawab gue dengan nada meninggi.
Tiba-tiba keheningan terjadi. Gue melirik Wendi dan Emil yang langsung saling bertatapan sambil mengangkat bahu berasumsi bahwa gue tidak ingin membahas soal percintaan dan focus ke panggung saja.
Selama manggung, kami menampilkan performa setengah terbaik kami karena mungkin kami bertiga sejujurnya sedang lelah memikirkan album, lagu, konser, dan wartawan.
"Gue mager banget Ram!" bisik Emil sambil melirik ke wartawan dan juga penggemar fanatik kami.
"Sama!"
YOU ARE READING
Psycholove
Mystery / ThrillerApabila ada dendam yang disampaikan dalam perasaan kasih sayang, mungkin itu menjadi mengerikan. Alya merasa mendapatkan pasangan yang diimpikan, namun ada dendam yang berdampak pada hubungan mereka. Sayangnya, semua ini menyangkut keluarganya Gina