Taman Mataram,
Taman yang gue ketahui cukup gelap dan ditemani lampu bernuansa remang berwarna kuning. Gue cukup sering ke sini ketika SMA, selepas pulang sekolah hanya untuk sekedar duduk-duduk dengan teman-teman apabila tongkrongan langganan sedang penuh. Biasanya tiap malam, ada nasi goreng enak yang suka buka di samping taman tersebut
Tapi tentu malam ini, maksud gue ke sana bukan untuk beli nasi goreng
Setiap jalan yang gue tempuh dari Kemang menuju ke arah Jalan Pattimura, pikiran gue masih tidak lepas dari Alya dan sosok manusia ini. Gue sangat ingin pulang karena gue tahu pasti nyokap khawatir di rumah, namun gue tidak boleh pulang tanpa Alya.
Gue harus pulang dengan Alya.
Ketika mobil ini tiba dan berhenti di samping taman, gue sudah melihat sosok misterius ini duduk dengan hoodie masih ia gunakan dengan membelakangi mobil gue.
Gue bawa secarik kertas yang tadi ia lempar ke dalam mobil gue, lalu gue melangkah ke luar mobil.
Setiap langkah, kaki gue semakin bergetar.
Gue harus siap kalau ada kabar buruk menerjang isi telinga gue.
Gue tidak langsung menyapa atau menepuk dia. Gue langsung duduk di depan dan berhadapan dengan dia. Di bawah siraman cahaya remang, dua laki-laki ini seperti sedang menggerutu dalam hati.
Perlahan dia mengangkat badannya, yang sebelumnya agak menunduk, kemudian dia mengepulkan asap dari mulutnya sambil memainkan punting rokok dalam jemarinya.
Lalu dia membuka tutupan kepala hoodienya dan menghela nafas.
"Rama kan?" tanya dia sambil menatap gue dengan sedikit tersenyum
Gue hanya mengangguk, karena gue sendiri masih dalam suasana tegang dan deg-degan.
Dia menghela nafas lagi. Mungkin dia ada bengek, efek menghisap rokok.
"Saya Reno, saya ingin cerita banyak kepada anda." Kemudian dia menjulurkan tangan kanannya, ingin bersalaman dengan gue.
"Sebelum saya menjabat tangan anda..." kata gue sinis, "...apakah anda bisa saya percaya?"
Gue menatap matanya sangat tajam, karena gue tidak ingin main-main dengannya
"Saya hanya ingin membantu anda dan adik anda. Setelah itu kalau anda tidak ingin kenal dengan saya, tidak ada masalah." Jawabnya dengan nada kalem
Insting gue bermain. Bagaimana kalau dia sudah menculik Alya lalu misalnya memotong badannya Alya menjadi delapan? Bagaimana kalau dia ini penjahat kelas kakap lalu menjebak gue?
Tapi gue laki-laki dan seorang kakak yang akan mengorbankan apapun untuk adiknya. Gue berusaha untuk tidak terpancing.
"Oke." Jawab gue singkat dan menjabat tangannya.
Gue hanya memandang dirinya, sambil harus fokus berpacu dengan malam yang semakin larut. Sementara dia menyalakan rokok sekali lagi, menghisapnya, mengepulkan asapnya, kemudian dia membuangnya.
Entah mengapa, gue melihat sosok dia ini sebenarnya sangat karismatik.
"Ram," itu kata pertama yang muncul dari bibirnya selepas membuang punting rokok, dan menatap gue. "Cerita ini sangat kompleks, dan untuk menyikapinya memang butuh kesabaran. Namun waktu kita tidak banyak. Dengarkan saya dahulu sampai habis, jangan menyanggah apapun."
"Baiklah. Silahkan mulai bercerita." Kata gue dengan gaya sok berwibawa.
Dia menghela nafas, memposisikan badannya persis lurus menghadap ke gue.
YOU ARE READING
Psycholove
Mystery / ThrillerApabila ada dendam yang disampaikan dalam perasaan kasih sayang, mungkin itu menjadi mengerikan. Alya merasa mendapatkan pasangan yang diimpikan, namun ada dendam yang berdampak pada hubungan mereka. Sayangnya, semua ini menyangkut keluarganya Gina