"RAM! Lo engga apa-apa kan?" Wendi langsung menghampiri sesaat gue tiba di Rumah Sakit Internasional Bintaro.
Gue langsung diturunkan di UGD, sementara Wendi dan Emil sedang duduk di ruang tunggu UGD.
"Gapapa kok... Alya mana?" tanya gue kepada Wendi sambil dipeluk dan dirangkul oleh Emil.
"Di dalam tuh sama nyokap bokap lo." Jawab Wendi.
"Gue masuk dulu ya."
Kemudian gue langsung bergegas masuk ke dalam, tentu minta izin dari suster.
"Di bilik nomor lima ya kak." Kata sang suster sambil mengantarkan gue.
Bilik nomor lima itu adalah satu-satunya bilik yang menyala di UGD hari ini.
Dari kejauhan, gue bisa mendengarkan isak tangis nyokap yang sedang menemani Alya di dalam bilik tersebut.
Ketika gue buka tirai bilik itu, bokap adalah orang pertama yang menyambut gue dan memeluk gue. Pelukannya memastikan gue kalau hari ini gue tidak kehilangan siapapun.
"Kamu baik-baik aja?" tanya bokap berbisik, karena takut mengganggu suasana UGD.
Gue hanya mengangguk kecil dan tersenyum. Terlalu letih untuk mengeluarkan atau mengendalikan volume suara.
Alya terbaring lemah dengan bantuan selang pernafasan layak pasien kekurangan oksigen. Tangan kanannya ada di atas perutnya, dan tangan kirinya menggenggam erat tangan kanannya nyokap, yang wajahnya memerah namun juga seperti sedang tertidur.
"Keluar aja yuk pa." Kata gue mengajak bokap ke luar dari ruang UGD
"Yuk, biar mereka istirahat." Jawab bokap sambil memegang pundak gue.
Kami berdua pun melangkah keluar dari ruangan UGD, dan disambut kembali oleh Wendi dan Emil.
"Tunggu di Starbucks aja yuk." Gue ingin sekali menyeruput segelas kopi yang hangat karena gue merasa badan gue juga agak kedinginan.
"Lo engga mau pulang aja? Kan lo belum tidur." Emil merespon ajakan gue dengan menyuruh gue pulang.
"Nanti aja deh."
Akhirnya kami berempat pun beranjak melangkah ke Starbucks. Dalam memori gue, detik-detik Dion menarik pelatuknya dan menembakkan dirinya masih terbayang jelas.
"Lo duduk aja, kita yang pesenin. Lo mau apa?" tanya Wendi sambil menyuruh gue duduk.
"Hm ini aja deh Tall Americano sama Croissant Chocolate."
"Oke."
Gue pun duduk di ruangan paling ujung dekat tempat pengambilan minum. Gue bisa merasakan bokap melihat diri gue yang super keletihan.
"Gimana tadi?" tanya bokap sambil memangku tangannya di hadapan gue.
"Lancar..."
"Ada yang gugur?"
Gue mengangguk pelan dan lesu.
"Siapa?"
"Dion..."
"Hah?"
Bokap gue kaget sampai menarik badannya ke belakang.
"Iya, dia menembakkan dirinya."
"Hmm yaudah engga apa-apa Ram. Yang penting kamu sama Alya selamat..."
Kata bokap sambil menepuk lengan gue.
YOU ARE READING
Psycholove
Mystery / ThrillerApabila ada dendam yang disampaikan dalam perasaan kasih sayang, mungkin itu menjadi mengerikan. Alya merasa mendapatkan pasangan yang diimpikan, namun ada dendam yang berdampak pada hubungan mereka. Sayangnya, semua ini menyangkut keluarganya Gina