Ini Malam Pertama Kita

5.7K 271 7
                                    

Ganis, sahabat sekaligus istriku. Kamu pasti gondok melihat Zeta. Nggak kusangka dia akan hadir pada pesta perkawinan ini. Padahal sengaja nggak kuundang. Mungkin Zeta tahu dari akun medsos. Entahlah. Yang jelas, dia nampak bersinar. Zeta masih sama seperti lima tahun lalu.

Aah.

Ganis, kamu nggak perlu cemburu sama Zeta. Memang hatiku masih terpenjara, namun aku sudah memutuskan akan merebutnya kembali. Tolong bantu, tanpamu aku nggak akan pernah sanggup. Kalaupun nantinya hati itu nggak utuh lagi, paling tidak masih ada sisanya. Remahan kecil yang akan membuatku hidup seperti manusia. Yah, walaupun remuk, maukah lamu menerimanya?

Bagaimana bisa menjalani samudra rumah tangga tanpa cinta? Diskusi kita selama berjam-jam sebelum aku melamarmu. Kamu selalu meyakinkan, bahkan tanpa rasa itu, bahtera akan terus melaju. Kuncinya hanya satu, saling mengerti.
Kamu mengerti keadaanku yang menyedihkan. Hatiku yang tak utuh lagi. Sementara aku juga harus mengerti kamu. Wanita yang selalu berpikiran positif. Hubungan timbal balik ini nggak ada salahnya dijalani. Toh aku juga sudah mengenalmu, hapal watakmu dan selama ini, sepak terjangmu cukup terhormat sebagai anak dari pasangan buruh pabrik.

Ganis, istriku yang tegar. Sejak kamu ingusan sampai menjelma menjadi gadis matang, aku selalu berada pada garda paling depan. Entah kenapa, bagiku, kamu tetap gadis kecil penuh ingus dan berkucir ekor kuda yang berlarian menentang matahari. Aku nggak merasakan apa-apa saat kita berpelukan mesra sementara fotografer cekrek-cekrek mengambil gambar. Ataupun saat aku mencium keningmu demi mendapatkan sebuah gambar sempurna. Getaran itu tak membelai pusat kelelakianku.

Ketika hari yang melelahkan selesai, kita terlentang di atas ranjang bersprei nuansa lavender, warna kesukaanmu. Wangi bunga mawar, melati dan kenanga menguar dari permukaan kain. Ah, kamar pengantin kita sempurna. Sayang, hati kita yang masih belum bertemu.

"Mas, beneran kita sudah jadi suami istri?" Kamu bertanya sambil menaburkan bunga ke atas. Kelopak bunga tiga warna itu terjatuh mengenai tubuhmu.

"Kenapa? Kamu menyesal?"

"Kenapa menyesal? Yang ada aku seneng sudah ganti status." Kamu tiba-tiba membalikkan badan menghadap ke arahku. "Apa kita juga harus melakukan hubungan suami istri?"

Aku hampir tersedak mendengar pertanyaan polosmu. "Memangnya kamu pingin?"

"Saat ini aku belum pingin, belum siap. Tapi kalau Mas mau ya harus dilayani. Bagaimana pun aku sudah jadi istrimu."

"Entahlah, Nis." Aku memberi isyarat padamu untuk meletakkan kepala di atas lengan. Kamu beringsut, mencari tempat yang nyaman. "Apa yang kamu rasakan sekarang?"

"Nggak ngrasa apa-apa, Mas." Kamu mendongak, menatapku dengan pandangan menyelidik. "Kalau Mas Aru sendiri?"

"Nggak nyetrum, Nis."

Kita terbahak-bahak. Menertawakan hubungan yang rumit dan nggak masuk akal ini. Kamu bangun lalu melepas kerudung instan yang masih melekat. Dengan entengnya, kain berwarna magenta itu kamu lemparkan ke sudut kamar. Teronggok bersama hamparan sajadah dan mukena. Sesaat lalu kita melaksanakan salat sunnah pengantin.

Aku terpana melihatmu tanpa hijab. Sejak kuliah kamu memutuskan untuk berjilbab. Alih-alih berambut panjang seperti Zeta, model rambutmu masih sama seperti saat kamu duduk di bangku SMU. Berpotongan shagy pendek. Kembali kamu membaringkan tubuh di sebelahku. Belum ada lima menit, dengkur halus terdengar.

Ganis, meskipun belum ada percikan itu di antara kita, aku berjanji akan memperlakukan kamu dengan baik. Akan kupenuhi segala kebutuhanmu. Penghasilanku sebagai akunting di sebuah perusahan ekspor-impor kayu bisa menghidupimu.

Setelah satu minggu di rumah orang tuamu, aku akan memboyongmu kontrak di dekat tempat kerja. Semuanya sudah kusiapkan, meskipun nggak terlalu mewah, perabot rumah tangga seperti perlengapan kamar tidur, kamar mandi dan dapur sudah ada. Hadiah dari bosku sebagai bentuk penghormatan.

Wajahmu sungguh damai, Nis. Bibir mungilmu sedikit terbuka. Ah, dasar kamu ini masih bisa terlelap pada saat-saat seperti ini. Sementara kantukku belum juga menghampiri. Aku memikirkan masa depan kita. Meskipun tanpa cinta, aku ingin keluarga kecil kita bahagia. Aku ingin terus melihat senyum pada wajah ovalmu.

Bisakah? Harus bisa.

Caranya? Kita akan diskusikan bersama-sama.

Next

Silakan tinggalkan vote ya, Sobat tersayang 😍😍

Curhat Pengantin Baru (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang