Ini Baru Malam yang Indah

3.4K 206 24
                                    

"Selamat datang di kamar hotel, selamat istirahat, Ganis." Aku membuka pintu kamar, mempersilahkan masuk.

Kamu yang masih memasang muka jutek. Daster eksotik kamu kibaskan selayaknya mengusir dedemit. Langkahmu panjang-panjang menuju kamar mandi, mungkin cuci kaki dan tangan, lalu kamu rebah di atas ranjang.

"Ah capeknya. Mana dasternya sriwing-sriwing. Baju dalamku sampai kering-kering sendiri," gerutumu lucu.

"Kamu cocok pakai daster itu, Nis. Kek pinguin hamil. Hihi."

"Kamu suaminya pinguin. Pilihin daster kok ya gede banget. Dikira badanku melar apa."

"Lah emang nggak nyadar kalau kamu itu gendut?"

"Apa?! Bilang sekali lagi!"

"Ndut!"

Ganis suduk tegak. "Mas! Itu kata-kata haram disebutkan. Pantang bagi wanita mendengar, melihat dan membaca NDUT. Itu menyakitkan."

"Kenyataannya kan begitu."

"Ih, ini orang nyebelin banget."

Demi kerang asam manis, memangnya aku salah apa hingga sering membuatmu marah, Nis. Lihat, gara-gara kata ndut kamu sekarang menutupi seluruh tubuh dengan selimut. Semenjak menikah, kamu benar-benar berubah. Gampang marah dan ehem, tambah menggemaskan.

Aku suka menggodamu, Nis. Melihat mata bulat melotot, alis indahmu mencuat, bibirmu monyong-monyong, aduh itu bikin aku suka. Gadis semanis kamu kenapa nggak pernah pacaran ya? Aku yakin kamu pasti banyak yang suka.

Grook!

Astaga, baru saja nempel bantal, suara ngorokmu sudah terdengar. Aku duduk di tepi ranjang, membelai helaian rambut yang menyembul dari balik selimut.

Ah, Ganis. Aku ingin menjadi suami yang baik untukmu. Meskipun bayangan Zeta terkadang menyelinap. Wanita itu cinta pertamaku sekaligus orang yang berhasil mematahkan hati. Kalau bukan kamu yang mengajak menikah, mungkin aku tak akan pernah berumah tangga. Luka yang ditorehkannya begitu dalam.

Uhuk, uhuk! Suara ngorok berubah jadi batuk. Aku segera mengambil air putih dan memberikan padamu yang sudah duduk tegak.

"Ah leganya. Kaget aku, Mas. Mimpi cincinku hilang." Kamu menghabiskan, lalu memandang cinci yang melingkar di jari manisnya. "Aku akan menjagamu, selamanya."

Cincin emas itu kamu arahkan ke bibir, lalu kamu mengecupnya dengan mata terpejam.

"Aku juga akan menjaganya, Ganis." Kuraih jemarimu, kuletakkan dalam cekungan leherku. Hangat. Nggak kusangka tanganmu terasa hangat.

"Berjanjilah padaku, Mas. Kita akan melewati semua rintangan dan menua bersama. Meskipun kamu nggak peka, aku sudah mengikhaskan diri dan hati untuk menerimamu apa adanya. Nggak ada niat tukar tambah suami."

Aku terkekeh. "Cih, memangnya barang ditukar tambah."

"Dasar Syarru Ramadhan Aditya Putra, kamu nakal."

"Rengganis Khumaira, kamu juga nakal."

Ranjang terasa bergoyang, rupanya kamu menggeser badan, meletakkan kepala di dada. Secara reflek tanganku melingkari tubuhmu. Aroma keringatmu membuat jantungku berdebar kecang seperti genderang mau perang.

"Ganis, apakah ... apakah kamu menerimaku sekarang?"

Anggukan pelan membuatku semakin tak karuan. Sepasang manik bening memandangku, menarik sebuah emosi yang langsung terhubung dengan pusat tubuh. Insting menguasai. Aku menangkup wajahmu yang memerah. Mencium lagi bibir ranum yang terasa manis, lalu membisikkan kata, "Allahumma Jaanibnasyaithon wa jaanibnasyaithon maa rozaqtana."

Kamu memejamkan mata, pasrah menerima curahan cinta. Menyatukan dua raga meraih setetes embun surga dunia.

Ganis, kamu telah jadi milikku seutuhnya. Tetaplah menjadi milikku selamanya.

***

Wuah, aku nggak menyangka ternyata menyalurkan nafkah batin itu rasanya luar biasa. Setelah tertidur sejenak karena kehabisan tenaga, aku merasa penuh dengan energi. Kebahagiaan meletup-letup seperti menguar dari tubuh.

Kamu masih terlelap, lagi pula ini sudah hampir tengah malam. Istirahatlah, Ganisku. Besok pagi aku akan membuatmu melayang lagi.

Drret. Drrt.

Ponsel bergetar. Aku mengambil dari saku celana yang teronggok di lantai kamar. Kontak Zeta tertera. Mau apa dia menelpon?

Nggak enak hati pada Ganis, aku menuju balkon. Berdiri di pinggir pagar pembatas. Menikmati kerlip lampu dalam gulita.

"Hallo?" tanyaku setelah menggeser tombol hijau.

"Aru, apa aku mengganggu?"

"Nggak, ada apa, Ta?"

"Aku ... aku butuh kamu ...." Zeta terisak, suaranya terdengar memilukan.

"Kamu kenapa, Ta?" Dari dulu, aku tak pernah tega kalau Zeta menangis, hatiku seperti diremas-remas.

"Mas Indra, dia ... kami bertengkar. Dia menamparku, Ru. Aku sudah nggak kuat lagi hidup bersamanya." Tangisnya semakin kencang.

"Kamu di mana sekarang?"

"Aku di hotel Bulan Bundar."

Deg! hotel Bulan Bundar?

"Di mana?"

"Di lobby, Ru."

"Tunggu, aku akan ke sana."

Rasa khawatir nggak bisa kubendung lagi. Aku membayangkan wajah Zeta yang memar karena ditampar. Sejak dulu wanita itu cengeng, hatinya sangat halus.

Pelan-pelan, aku keluar kamar setelah memakai baju. Tanpa menoleh lagi padamu, Nis. Aku berharap kamu benar-benar tidur pulas sampai pagi. Nggak mengetahui perbuatanku. Bagaimana pun, kamu membenci Zeta. Aku nggak ingin membuatmu marah-marah.

Nis, maafkan aku. Aku akan menemui Zeta sebentar, memastikan dia baik-baik saja. Setelah itu, aku akan kembali padamu.

Percayalah.

Next

Sobat Novie silakan tinggalkan vomen yaks. Ahay! 😍😍

Curhat Pengantin Baru (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang