Insiden di Bawah Sana

3K 171 5
                                    

Sebel itu kalau marah sama seseorang, tapi orang yang dimarahi nggak peka. Makan hati, kan? Salah satu dari kumpulan orang-orang itu adalah kamu, Mas. Iya, kamu! Demi bulan bintang yang menghiasi langit, ingin rasanya aku jorokin badanmu sampai nyebur ke sungai.

Aku berlari seumpama banteng betina mau lahiran. Sruduk sana-sini. Tak menghiraukan tatapan keji pasangan yang kupisahkan tautan jemarinya. Saat napasku terswngal, tak mampu lagi menggerakkan kaki, aku berhenti di pinggir jalan setapak. Mengisi paru-paru dengan oksigen.

Berharap kamu datang. Memelukku.

Tik tok tik tok.

Jarum jam di pergelangan tangan berputar. Mataku jelalatan menoleh ke belakang, mencari sosokmu yang lintang-pukang berlari mengejarku, memanggil namaku lalu berdiri tepatndi depanku. Detik demi detik berlalu, menjadi menit. Satu, dua, hingga lima menit, batang hidungmu belum juga terlihat.

Asap kembali mengebul dari ubun-ubun. "Mas Aru! Apa kamu mau cari gara-gara denganku?!"

Teriakanku mengagetkan keluarga monyet berbulu cokelat yang sedang mengais sisa-sisa makanan di dalam tong sampah. Mereka lari naik ke atas pohon. Beberapa penjual jagung bakar sepertinya terkejut. Mereka menatapku curiga.Tak kusangka, suaraku sakti juga. Semoga nggak dikira orang gila.

Sampai lima belas menit menunggu, nggak ada penampakanmu. Aku mulai khawatir. Jangan-jangan kamu tersesat ketika mengejarku. Ya Allah, bagaimana ini. Tenagaku jadi penuh kembali. Kali ini, aku berlari menuruni jalan berlantai batako. Bayangan Mas Aru kebingungan melanda. Kasihan sekali kamu, Mas. Ditinggal lari istri di tempat yang asing.

Kejutan menanti.

Saat sudah sampai taman, aku langsung menyisir tempat mencari kehadiranmu.

Ketemu!

Mas Aru sedang duduk santai di atas ayunan sambil ngemil keripik kentang. Ketika melihatku, kamu melambaikan bungkus snack sambil tertawa lebar.

Rasanya aku ingin menghajarmu pakai ajian goyang bumi runtuh langit. Biar Mas Aru ambles ke dalam tanah sekalian.

"Wastaga! Jabang bayi lanang wedok! Kok ada makhluk jelek kayak kamu, Mas!"

Nggak tahan lagi, aku berderap kencang menuju kamu. Menyiapkan jari jempol dan telunjuk, mentransfer energi pada ujungnya dan sekuat tenaga mencubit kulitmu yang bisa diraih.

"Rasakan capit kepiting Ganis! Hiya ... hiya!"

Aku sudah nggak peduli lagi. Kamu terbengong saat melihatku melaju, lalu terbahak merasakan cubitanku. Terakhir, kamu menjerit kesakitan dan terjatuh dengan suara BRUK dari atas ayunan.

Siapa suruh membuat Ganis ini emosi. Aku berkacak pinggang, menikmati kemenangan. Melihatmu yang masih memasang tampang polos tanpa dosa. Pandanganmu seolah bertanya 'apa salahku?'

Bah!

Pikirkan sendiri, wahai kaum nggak berperasaan!

"Ganis! Keripikku remuk."

Mas Aru berdiri, lalu menatap bungkusan keripik yang penyet. Rupanya cemilan tadi pas berada di bawah pantatmu.

Sukurin.

***

Kali ini, perjalanan menuju ke air terjun lancar jaya. Nggak ada peristiwa apa-apa yang menarik perhatianku. Kali ini, kita berjalan sendiri-sendiri. Gandengan tangan sudah kulepaskan. Males banget! Sepertinya kamu bersungut-sungut mengikuti langkahku sampai lokasi.

Gemuruh menggema. Air terjun utama selebar lebih dari 6 meter terlihat putih. Sayang sekali aku nggak bisa melihat dasarnya karena diberi pembatas. Terakhir ke sini dulu, belum ada pembatas itu. Aku berlari, menyelinap di antara celah pagar semen. Angin yang berasal dari air terjun membuat khimarku berkibar. Uap air dengan cepat memercik ke seluruh tubuh.

"Mas, foto aku, dong."

Demi mendapat gambar yang oke punya, aku rela gencatan senjata. Kamu langsung datang dan mengambil gambarku dengan berbagai macam pose. Setelah puas, aku mengajakmu turun ke aliran sungai jernih dangkal penuh bebatuan di bawah sana.

Nyes!

Aku memekik kedinginan saat air menjilat kaki. Wua, rasanya seperti air di dalam freezer. Perlahan, aku menjelajah sungai, menuju ke sebuah batu besar yang berada tepat di tengah. Cabang pohon raksasa menaunginya hingga terbebas dari sengatan sinar matahari.

Ah, leganya. Suara kecipak air yang berasal dari kakiku yang bergoyang tak terdengar, kalah dengan arus yang bergemuruh. Mas Aru nggak mau bergabung bersamaku. Kamu tetap berada di pinggir. Duduk manis di atas kursi kayu dekat warung. Mulai menyalakan rokok. Sebentar saja, asap bergulung-gulung keluar dari bibirmu.

Biasanya, kalau laki-laki sudah bermesraan dengan rokoknya, mereka nggak akan memerhatikan alam sekitar. Terserahlah. Aku juga mau menikmati kesendirian ini. Sebaiknya kuabadikan dengan swafoto dari ponsel.

Cekrak-cekrek dimulai. Semua pose raut wajah sudah aku foto. Mulai dari monyong, melengos, mecucu sampe ekspresi macam orang kena stroke dengan latar belakang sungai jernih. Jenuh dengan pose duduk, aku mulai berdiri di atas lempeng batu. Berhati-hati supaya nggak tergelincir.

Ponsel kuarahkan sejauh mungkin dari wajah. Ah, ada orang sedang berpacaran mengambil tempat tepat di belakang. Meracuni pandangan saja. Aku menggeser smartphone sedemikian hingga menemukan sudut yang cocok.

Mundur sedikit akan sempurna. Pepohonan di seberang sungai terlihat indah. Aku lupa kalau waktu itu sedang berdiri di atas batu sempit. Setelah bergeser ke belakang satu langkah, keseimbanganku terganggu. Kakiku terperosok. Dalam hitungan detik, tubuhku terbanting masuk ke dalam sungai.

"Aah!"

Teriakan lemah kalah dengan suara arus. Dalam sekejab, badanku menggigil. Jatuh terduduk di dasar sungai. Sebuah batu runcing menggores telapak tangan yang berusaha menahan jatuh. Beberapa pengunjung terlihat menunjuk-nunjuk sambil tertawa. Betapa malunya, rasanya ingin menenggelamkan diri.

Saat seperti ini, kamu di mana, Mas Aru?

Next

Silakan vomet 😍😍😍

Curhat Pengantin Baru (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang