Dasar cowok rumahan! Diajak jalan-jalan kebanyakan alasan. Padahal Mas Aru sudah tau kalau aku sukanya berpetualang memicu adrenalin. Yah, meskipun tipis-tipis doang. Mumpung ada fasilitas hotel mengajak pengunjung melihat indahnya alam air terjun Kakek Bodo. Sebenarnya aku sudah tiga kali ke pariwisata ini bersama teman sekantor. Kali ini spesial banget karena ditemani suamiku tercinta. Mas Aru yang gantengnya level Indonesia raya. Yuhu!!
Ketika mini bis parkir, aku bersemangat banget. Kugandeng tanganmu erat-erat. Seruduk kanan-kiri penumpang lain yang mau mendahului. Aih, ada seorang bapak-bapak berjenggot melirik sadis, Mas. Ngapain coba?
"Kita bertemu lagi di sini empat jam lagi ya. Bapak-bapak dan ibu-ibu, Silakan menikmati keindahan alam Kakek Bodo."
Penanggung jawab mengumumkan lewat toa bis. Waktu selama itu udah cukup buat cuci mata. Terasa sesuatu berkeringat di telapak tanganku. Oh, rupanya kamu grogi hingga jemarimu lembab. Lucu banget, sih. Mas Aru berusaha melepaskan diri.
"Awas kalau berani melepaskan gandenganku." Aku mengancam sambil mempererat pegangan. Tepatnya meremas tanganmu.
Ah, indahnya jalan berdua. Kita tinggal masuk saja karena tiket sudah dibayarkan. Sejak langkah pertama, tangga menurun menunggu untuk dilalui. Suasananya adem bener, Mas. Suara serangga hutan saling bercumbu (mungkin), embusan angin menembus jaket, mengirimkan peringatan ribut. Ada kebakaran di tempat yang bersentuhan dengan kulitmu. Sambil modus melihat deretan pohon pinus menjulang, aku melirik sosokmu, Mas. Ehem, ternyata kamu nggak jelek-jelek amat. Kulit wajahmu bersih tanpa jerawat, hidungmu tipikal lelaki Jawa. Pesek menggoda. Tak kusangka ternyata kamu semanis ini.
"Mas, berhenti dulu. Aku mau ambil gambar di sini."
Sebuah jembatan kecil menghentikan langkah. Di bawahnya, sungai berair jernih dengan ribuan bebatuan mengalir indah. Aku mengambil gawai dan memberikan ke kamu, Mas.
"Fotoin yang bagus, ya."
"Nggak janji."
"Sodok!"
Kamu mengambil beberapa gambar, aku melihat hasilnya dengan puas. Lumayan bagus, aku terlihat bersih kinclong. Oh, kamera beauty yang menyelamatkan! Bintik-bintik bekas jerawat hilang tak berbekas.
"Ayo kita foto sama-sama."
Aku meraih bahumu, Mas. Mendekatkan wajah dan cekrek-cekrek! Aih, kaku banget posemu. Tegak seperti tiang listrik! Kaku seumpama satpam gardu. Nggak nyeni sama sekali.
Setelah menyimpan ponsel, kembali kuraih lenganmu dan menyusuri jalan setapak yang sudah cakep. Udara lembab membuat lumut-lumut kecil menghiasi sisi yang jarang terinjak kaki. Setelah dua puluh menit berjalan, sampailah pada sebuah tempat bermain. Ayunan doublenya menggoda jiwa. Kakiku terasa pegel. Duduk di sana sepertinya nyaman.
"Ayo ke sana, Mas."
Kamu hanya mengendikkan bahu dan mengikuti langkahku. Tepatnya sih, terseret. Jemari kita masih tertaut erat, lengket seperti lem besi. Tak terpisahkan. Kuempaskan pantat yang berbalut celana jeans ke atas ayunan besi. Melepaskan genggaman tanganmu lalu mengatur napas yang tersengal.
"Capek, Nis?"
Mas Aru menurunkan ransel. Mengambil botol air mineral dan menyodorkan padaku, tak lupa membuka tutupnya sekalian. Aku menyambutnya antusias. Minum beberapa tegukan besar. Segar membasahi tenggorokan. Terasa ada sedikit air yang merembes keluar dari sudut bibir.
"Minumnya pelan-pelan."
Sebelum aku menyeka, jemari Mas Aru mendahului. Ujung telunjukmu menyentuh bibirku. Mengirimkan gelombang hangat yang dengan cepat menjalari wajah. Saat kita bertatapan, sorot matamu terlihat menggelap. Perlahan kamu menunduk, Mas. Aku tak mampu menggerakkan badan. Dag-dig-dug der melanda. Menunggu sebuah kecupan yang akan mendarat di bibir. Secara reflek, aku memejamkan mata.
Lama menunggu, ciuman itu belum datang juga. Apa perjalanannya terjebak macet? Saat kubuka mata, kamu memandangiku sambil meminum air mineral.
Sialan, ternyata kamu tadi menunduk cuma buat mengambil botol.
"Kenapa merem-merem, Nis? Minta dicium?" katamu sadis. Kali ini aku kalah telak.
Mulutku mangap nggak percaya. Aku beneran malu sampai ujung jiwa. Tega banget kamu membuatku nggak nyaman, Mas. Entah kenapa tatapanku mulai mengabur, mata ini terasa panas. Aku berdiri lalu berlari. Ingin bersembunyi di bawah akar pohon pinus. Menjauh dari sosokmu yang sekarang terasa menyebalkan.
"Ganis! Kamu mau ke mana?"
Aku nggak peduli! Dasar semua cowok nggak peka!
Kakiku semakin cepat berlari mendaki, menubruk beberapa pengunjung yang nggak mau minggir memberi jalan. Sementara di belakang, Mas Aru masih berteriak memanggil namaku.
Next
Sobat, jangan lupa kasi vote yaa 😍😍
KAMU SEDANG MEMBACA
Curhat Pengantin Baru (On Going)
RomanceMenikah tanpa saling mencintai, mungkinkah? Ikuti curahan hati pasangan Ganis dan Aru yang ditakdirkan menikah tanpa cinta.