Kamu Jahat, Mas!

2.8K 175 7
                                    

Kamu pernah nonton film India, Mas? Itu lho, yang adegan kamera muter-muter saat pemain utamanya lagi terkejut. Diiringi musik dengan vokal tertinggi berbunyi aaaaa aaaa. Nyanyinya ala India juga, lho. Jangan kayak nembang atau pun seperti bencong teriak manja.

Itulah yang kurasakan saat ini. Berada di dalam sungai dengan posisi nungging itu sesuatu, Mas. Aku nggak berani berdiri, takut pada pecah duren, eh tawa. Mana kaus yang kupakai basah semua, ngeplek kelihatan samar-samar kutang warna merah terang yang sengaja kubeli untuk menggodamu. Sampai detik ini kamu belum takluk, mungkin tepatnya belum mengikhlaskan diri menerima jamahanku. Ehek.

Untung saja ponselnya sudah diberi pengaman plastik lengkap dengan gantungan tali warna pink. Aku segera menggantungkannya di leher lalu nyungsep lagi.

Byur! Sroot! Kecipak-kecipak!

Suara apaan, tuh?

Aku memberanikan diri mendongak, mencari asal suara mencurigakan. Takut kalau ada monyet nyasar dikira aku bininya, pan gaswat.

Ternyata itu suara kaki mas Aru yang mengarungi sungai. Kedua tangannya ke atas maksimal nenteng sandal, gundukan otot bisep mungil menyembul dari balik kaus. Mataku terbelalak, sebuah lagu kenangan menyeruak. Lalalala ho ta hai. Kuch kuch ho ta hai.

Senyumku terbit, lebar banget. Berharap mas Aru menolongku keluar dari masalah ini, menarik tubuhku dan memeluk menenangkan.
"Mas Aru. Hiks. Tolong aku," rintihan lemah keluar dari bibirku yang bergetar kedinginan.

"Ganis, kamu ngapain nungging di sini."

"Aku terpeleset, Mas."

"Makanya kalau foto cari tempat yang aman. Kamu itu tuman!"

"Mas Aru! Aku ini sedang dapat musibah, teganya kamu ngatain tuman. Owalah yo yo, punya suami satu aja nggak peka. Apa kamu mau ditukar tambah?! Hah!!" Kali ini, aku benar-benar hilang kesabaran. Ludahku muncrat-muncrat menyemburkan kemarahan.

Tanpa menunggu ditolong, aku segera berdiri. Berderap ke tepi sungai dan berlari turun. Air mata menetes bersama dengan kucuran air dari ujung baju, jilbab dan celana, membuat jalan setapak sempit basah tergenang.

Dasar ter la lu! Mas Aru kejaam! Huhuhu. Dosa apa yang kulakukan sampai mendapat suami seperti dia. Belum genap seminggu sudah berat derita ini kutanggung.

"Ganis, Ganis tunggu!" Ish, rupanya kamu sekarang mengejarku, Mas. Aku nggak mau berhenti berlari.

"Bodo!"

"Kakek."

"Bodo!"

"Ular."

"Tangga!"

"Cinta."

"Mas Aru. Huhuhu."

Mas Aru berhasil mengejar, tangan kananku kamu raih. Seperti di drama Korea, kamu menarik tubuhku ke dalam pelukan. Aku mengangis keras seperti anak bayi disapih ibunya, nggak peduli ingus keluar membasahi bajumu.

"Maafkan aku, Ganis. Maafkan aku."

Kamu menangkup wajahku, Mas. Pasti aku terlihat jelek dengan bibir mewek terlipat keluar. Air mataku kamu hapus dengan jari tangan.

"Cup, jangan nangis lagi, Sayang."

"Kamu jahat, Mas. Nggak ngertiin aku."

"Maaf."

Lagi-lagi kamu memeluk, menepuk punggungku sampai aku tenang. Tubuhmu menegang, entah dapat keberanian dari mana tiba-tiba mas Aru mendaratkan kecupan di ujung kepala.

Aku mendongak, menatap manik matamu yang menggelap. Mas Aru memegang tengkuk, mendekatkan wajah lalu terjadilah ciuman pertamaku. Yah, umur setua ini aku belum pernah dicium lelaki mana pun.

"Ihirrr, suwit suwiiitoo. Suwit suwiitoo."

Ledekan para pengunjung menyadarkan kita. Kamu melepaskan diri, menggandeng tanganku berjalan menyusuri jalan setapak. Nggak berhenti sampai pintu keluar tampak. Mas Aru menyuruhku menunggu di depan toilet.

"Ganis, diam dulu di sini. Akan kubelikan kamu baju ganti." Kamu berlari menuju sebuah kios yang menjual souvenir dan baju-baju.

Tak lama kemudian, mas Aru datang membawa bungkusan keresek.

"Pakai ini, Nis."

Aku segera masuk ke dalam toilet, membuka baju yang basah, membilas diri dengan air bersih lalu membuka kresek hitam pemberianmu.

Sebuah daster batik merah ukuran double xxl membuat tawaku meledak. Aku yakin, sebentar lagi aku akan menghuni rumah sakit jiwa Menur.

"Mas Aru! Dikira istrimu ini gajah bengkak dibelikan daster segede ini!" teriakku dari dalam toilet.

Sepi tak ada tanggapan.

Ketika membuka pintu, hal pertama yang kulihat adalah wajahmu. Kamu mengatupkan bibir rapat-rapat melihat penampilanku dari atas ke bawah. Sepertinya menahan tawa.

Aku nyengir kuda balap. Meletakkan kedua tangan di pinggang, berpose seksi.

"Makasih dasternya, Mas. Lumayan bisa buat seprey."

Tak dapat kupercaya, kamu tertawa terkial-kial sampai memegang perut terbungkuk-bungkuk.

Syialan.

Next

Jangan lupa vomen ya, Gaes.

Curhat Pengantin Baru (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang