Hampir Saja

3.3K 189 10
                                    

Huff. Jantung, tenanglah. Aku nggak mau mati muda gara-gara ototmu lepas dari penyangganya. Konon, meninggal gara-gara gagal jantung itu sangat menyakitkan. Lha kok bisa tahu? Yah, melihat di film lah. Para aktor dan artis yang beradegan sakit jantung terlihat ngenes. Jadi, apa intinya? Intinya sekarang badanku gemetar hebat.

Ambil napas dari hidung. Huuup. Buang lewat mulut. Aaah. Ulangi sampai tiga kali dan kondisi jedug-jedug di dalam sana lumayan mereda. Aku melangkah santai. Menempati sajadah yang sudah disiapkan Ganis. Langsung posisi siap Sholat. Khusuk dan tawaduk.

"Iqomat, Nis," perintahku sambil berdehem-dehem ala pemimpin partai.

Sepertinya Ganis masih duduk bersimpuh. Belum terdengar suara mukenanya menggores lantai. Ah, maumu apa, Nis? Imam sudah siap kok nggak segera berdiri. Kutunggu sampai beberapa detik masih sunyi senyap. Ketika aku menoleh ke belakang, kamu memandangku dengan tatapan kebingungan. Posisimu masih sama. Bersimpuh penuh takwa.

"Ayo cepetan, waktu Sholat Magrib cuma sebentar."

"Beneran Mas Aru sudah siap?"

"Iya, siap banget, Nis."

"Owalah, Mas. Sejak kapan sholat boleh pakai celana kolor di atas lutut?" Tak lupa kelima jemari kananmu nemplok di jidat.

Ekor mataku melirik ke bawah. Nampaklah betis dengan bulu-bulu keriting lebat yang terpampang nyata. Mereka bergerumbul pilu, seolah mengejek diriku. Emak! Aku lupa belum pakai celana panjang. Sebelum ke kamar mandi tadi, celana aku cantolin di lemari. Wua!

Apakah aku terlihat canggung? No! Big no no. Jangan sampai imejku jeblok di hadapan Ganis. Bisa besar kepala dia.

Dengan gerakan lambat, aku berjalan menuju tempat celana jeans biru tergantung. Mengambil setenang angin sepoi berembus. Mengibaskannya tiga kali supaya debu-debu terpental lalu memasukkan kaki kanan dilanjutkan kaki kiri. Terakhir, memasang kancing dan menarik resliting. Tak lupa melipat ujung celana paling bawah hingga terlihat mata kaki. Gagah berani aku kembali ke hadapan Ganis.

Saat aku berdiri lagi di atas sajadah, kamu sudah melantunkan iqomat. Suara merdu mendayu menembus selaput telinga. Membuatku lupa tentang rasa malu. Yah rasanya malu banget sampai ingin nyungsep di bawah kasur.

Untunglah kamu bersikap manis. Nggak seperti biasanya yang nyinyir sana-sini. Ajaibnya, kamu bahkan tak tersenyum vulgar. Tapi tetap saja, kedutan samar di ujung bibirmu membuatku waspada. Menunggu datangnya ledakan tawa. Benar tebakanku, sesaat setelah salam, tawamu memancar hingga terdengar sampai ujung langit. Membuat bidadari yang sedang melamunkan suami terkaget-kaget.

Ekor mataku melirik, kamu tertawa sampai terbungkuk-bungkuk. Lalu cegukan.

Hukz. Cekukz.

Huwasem!

***

Gara-gara insiden itu, kecantikanmu pupus, Nis. Kamu terlihat seperti tetanggaku yang tukang usil. Hasrat itu melayang pergi bersama tetesan air mata yang mengucur. Teganya terpingkal sampai menangis. Apakah aku ini lelucon bagimu, hah?

Konyol!

Seperti pagi ini, tawamu meledak lagi. Padahal baru bangun dan masih kucek-kucek mata menghilangkan belek. Oh, Ganis, lihatlah tingkahmu itu. Seperti anak kecil saja.

"Mas Aru, aku pingin lihat air terjun Kakek Bodo. Ayuk pacaran di sana."

"Nggak! Males."

"Yey, kok gitu. Masih ngambek ya?"

"Siapa yang ngambek?"

"Ayolah, kita main air terjun. Sepertinya romantis. Kali aja ada dewa cinta nyasar lalu kita bisa terpanah asmara di bawah guyuran bening."

"Preet!"

"Pruut!"

Seperti yang sudah-sudah, aku kalah telak. Nggak berdaya dengan perang kata-kata. Mulutmu itu, Nis, hebat luar biasa. Ditambah kedipan mata bulat, ah nggak sanggup menolaknya.

Ting. Ting. Ting. Seperti kucing minta ikan tongkol. Gemes, tahu!

"Nis."

"Ya, Mas."

"Rasakan cipokan kepiting!"

Kali ini, aku beneran mencubit pipi ranummu. Kamu menjerit-jerit geli. Terlambat! Jempol dan telunjukku sudah berhasil menarik gumpalan daging. Sebelum kamu menyerang balik, aku cepat-cepat melarikan diri ke dalam kamar mandi. Aman terkendali.

"Mas Aru! Awas kamu, ya! Nggak ngerti apa pipiku ini perawatannya mahal! Bikin tambah kendur aja." Kamu menggedor pintu sambil berteriak manja.

Puas banget bisa bikin kamu sebel. Emang enak! Setelah berhasil cubit pipi, aku harus bisa mencubit bagian tubuhmu yang lain. Setelah aku keluar, dagumu bakal habis, Nis. Kalau dagu sukses, maka serangan turun sedikit ke bawah. Apakah leher bisa dicubit, Nis? Sepertinya kulit bagian itu tipis banget. Nggak tega ah. Lebih baik turun lagi ke bawah sedikit. Ke area itu, daerah yang enak dan lembut ... kerah baju.

Hahaha! Tunggu saja.

Adududuh, perutku mules. Maaf, adegan tak senonoh. Skip dulu ya, Nis. Pastinya kamu nggak akan suka kuceritakan bagian paling enak dan menentramkan gejolak usus besar ini.
Huh hah. Huh hah. Aaak!

Next

Jangan lupa kasi vote ya, Sobat

Curhat Pengantin Baru (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang