3

321 34 1
                                    

Hari yang cerah untuk memulai perjalanan panjang. Setelah melewati beberapa periode kegalauan akut, akhirnya Melodi dapat memantapkan hati untuk mengambil cuti. Dengan bantuan Ari, gadis itu akhirnya menyelesaikan proses persiapan keberangkatan. Mulai dari mengurus visa hingga packing pakaian. Dibandingkan Melodi, Ari bahkan terlihat lebih bersemangat untuk pergi ke Seoul.

"Semuanya udah dibawa, kan?" tanya Ari untuk kesekian kali.

Melodi menghitung bawang bawaannya. Koper ukuran sedang, ransel, bantal leher, jaket. Ia mengangguk yakin pada Ari.

"Udah kok. Dokumen penting juga udah gue siapin semua," jawab Melodi.

Ari manggut-manggut. Gadis itu bahkan sengaja mengosongkan jadwalnya selama satu hari untuk mengantar kepergian Melodi. Ari menarik koper milik Melodi menuju gedung bandara terminal keberangkatan. Kedua gadis itu berjalan bersisian membelah tempat parkir yang selalu ramai. 

"Tunggu sambil ngopi aja, yuk," ajak Melodi sambil menunjuk satu kedai kopi favoritnya.

"Hah," Ari menghela napas panjang begitu mendapat kesempatan untuk duduk. Penampilan gadis manis itu tetap saja terlihat menarik walaupun hanya memakai pakaian santai.

"Padahal lo nggak perlu sampai anterin gue segala. Berasa gue mau pergi lama aja," ucap Melodi. Ia mendudukkan diri di seberang Ari. "Pasti acara kemarin di Bekasi rame banget, ya?"

"Nikahan anak orang penting gimana nggak rame," jawab Ari. Gadis itu meraih gelas berisi ice cappucino-nya yang baru saja datang. Ia menyesap isinya sedikitnya. "Lagian, gue sih seneng-seneng aja anterin lo. Kalau bisa sekalian anterin ke Seoul-nya. Siapa tahu gue kepincut sama Hyunbin kalau ketemu di real life. Kan oppa Seoul tuh."

Melodi memutar kedua matanya jengah. Bener-bener deh, obsesi sahabatnya itu pada cowok Korea nggak bisa ditolong lagi. Padahal mah, semua cowok sama aja menurut Melodi.

"Oh iya, Mel," sambung Ari. Panggilan gadis itu berhasil menarik perhatian Melodi. Ari terlihat sibuk mengacak-acak isi tasnya, seperti mencari sesuatu. "Tara! Gue punya hadiah dong buat lo!"

Melodi mengernyitkan dahinya. Ari melambai-lambaikan selembar kertas berukuran sekitar 5x10 sentimeter di depan wajahnya dengan bahagia. Kesal karena dipermainkan, Melodi menangkap pergelangan tangan kanan Ari hingga berhenti bergerak. Gadis itu merampas kertas dari genggaman tangan Ari.

"Ini... tiket?"

Ari mengangguk semangat menjawab pertanyaan sahabatnya. "Tiket fansign Seventeen. Gimana? Hebat kan gue bisa dapet?"

Melodi menelengkan kepalanya. Ia meletakkan kertas di tangannya ke atas meja dan menyorongkannya kembali pada Ari. Gadis itu terlihat tidak tertarik.

"Ngapain lo kasih ini ke gue?"

"Ih, lo kan bingung disana mau ngapain aja. Daripada bengong nggak jelas, mending lo main ke fansign Seventeen terus ketemu sama uri Woozi!" kedua bola mata Melodi melebar mendengar kalimat yang keluar dari mulut orang di seberangnya. "Lo kasih salam gue ke Woozi yaa. Lo dateng sebagai perwakilan gue deh. Bilangin ke dia, next time Ill meet him for sure."

"Ogah," tolak Melodi. "Gue nggak kenal sama Seventeen, ngapain gue dateng ke acara fansign gituan."

"Kalau nggak kenalan, ya kenalan dong," ucap Ari santai sembari menunjukkan sederet gigi putihnya. 

"Sebenernya gue nggak maksa lo buat kenal sama member-member-nya sih. Jadi, gue punya temen di Seoul, yah kenal karena sama-sama fans Seventeen gitu. Dia selalu dateng ke semua konser Seventeen. Tiap Seventeen ke Jakarta, Singapura atau Malaysia, gue kan pasti nonton tuh. Nah, ketemunya ya sama dia ini nih," jelas Ari. "Walaupun anaknya jauh lebih muda dari kita, menurut gue dia orangnya asyik kok. Lo pasti bakal betah sama dia."

Ari meraih sebelah tangan Melodi. "Gue mau lo mulai bisa membuka diri dengan orang lain. Dimulai dengan belajar berkenalan dan nyaman dengan orang baru. Percaya sama gue, Mel. Gue nggak mungkin ngenalin lo ke orang yang nggak bener."

Melodi menarik tangannya. Ia memalingkan wajah ke arah lain. Dua detik kemudian ia menoleh kembali ke arah Ari. Sahabatnya itu masih sabar menunggu tanggapannya dengan puppy eyes.

"Okay, I get it," ucap Melodi mengalah. Ia meraih tiket yang masih tergeletak di atas meja. "Asal lo nggak buat gue minta aneh-aneh ke para oppa pujaan lo."

"Nggak lah," tolak Ari. "Gue kasih tiket ini cuma biar ada moment yang pas aja buat lo ketemu sama temen gue. Gue kasih kontaknya deh. Nanti gue bilangin juga ke dia kalau lo itu nggak tahu apa-apa tentang Seventeen. Biar seenggaknya lo bisa belajar dikit tentang group itu ke dia."

"Arini Mahaningtyas!" Melodi mengucapkan nama lengkap sahabatnya dengan gemas. K-poper itu benar-benar tidak lelah menariknya agar terjerumus ke fandom yang sama.

Ari terbahak. Melodi hanya geleng-geleng kepala. Ia sudah cukup mengenal keanehan sahabatnya itu.

---

Udara musim panas di Seoul menyambut kedatangan Melodi. Liburan musim panas sudah lama dimulai, namun banyak juga wisatawan dari berbagai negara yang pergi berlibur ke negeri gingseng itu. Sejak halyu wave menyebar ke berbagai belahan dunia, pendapatan Korea Selatan otomatis meningkat juga dari sektor pariwisatanya. Sungguh strategi yang bagus. Apakah Indonesia bisa mengadopsi cara negara tetangganya itu?

Melodi menggelengkan kepalanya. Sudah jauh-jauh datang ke Seoul untuk berlibur, masa otaknya masih saja memikirkan strategi marketing

"Melodi, here!" panggil seseorang.

Merasa namanya dipanggil, Melodi menoleh ke arah sumber suara. Gadis itu melambaikan tangannya dengan riang ketika mendapati wajah yang ia kenal di antara kerumunan para pengunjung. Melodi menarik kopernya menghampiri sang penjemput.

"Hi, long time no see you!" sapa Melodi antusias. Ia memberikan jabatan tangan erat pada pria bertubuh jangkung di hadapannya.

"You got prettier, Melodi."

"Gosh, Oh Hyunbin. You and your sweet mouth," balas Melodi sembari tertawa. "Help me with my Korean, okay?"

"Arrasseo," balas Hyunbin. Otomatis percakapan mereka beralih dari bahasa Inggris menjadi menggunakan bahasa Korea. "Mari aku bantu bawakan," Hyunbin mengambil alih koper dari tangan Melodi.

"Terima kasih," ucap Melodi tulus. Gadis itu mengikuti langkah kaki sahabat sang kakak menuju mobil.

"Terakhir kali kau kemari sekitar dua tahun yang lalu, kau tidak merasa asing kan?" Hyunbin berusaha membuka percakapan ketika mobil mereka akhirnya berhasil keluar dari hiruk pikuknya bandara. 

"Semoga tidak," balas Melodi. "Hanya saja, ini perjalanan pertamaku ke luar negeri seorang diri. Tanpa tujuan."

Hyunbin tertawa kecil. Pandangannya tidak pernah meninggalkan jalanan di hadapannya sebentar pun. "Kalau kau selalu merencanakan kehidupanmu, kau tidak akan menemukan suatu kejutan. Hidupmu akan terasa membosankan. Sekali-dua kali tidak ada salahnya untuk bersikap lebih santai."

Melodi termenung. Yang dikatakan pria di sebelahnya tidak sebetulnya salah. Selama ini hidupnya sangat terencana. Hasilnya juga sebagian besar sesuai dengan ekspektasi. Sayang, rencana-rencana itu tidak selalu membuatnya bahagia. Melodi baru sadar, hidupnya selama 23 tahun ini terasa bagaikan seorang robot.

"I think you're right," ucap Melodi lirih sembari memandang ke arah luar.

"Pardon?" tanya Hyunbin. Ia memang tidak terlalu mendengar jelas ucapan gadis itu.

"Tidak, tidak," Melodi berusaha mengelak. "Aku hanya sedang berkata pada diriku sendiri."

Hyunbin mengangguk paham. Ia tidak memaksa gadis itu untuk bicara lebih banyak.

Suasana di mobil tidak terlalu ramai lagi. Hanya ada suara musik yang menemani keduanya. Hyunbin memfokuskan diri pada jalanan kota Seoul yang padat. Melodi sendiri sudah melayang ke alam mimpi entah sejak kapan. Perjalanan selama kurang lebih enam jam cukup membuat tenaganya terkuras. Belum lagi, kualitas tidur Melodi akhir-akhir ini sangat buruk. 

[SVT FF Series] RetrouvailleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang