Chapter 6: Yes or No

49.6K 1K 26
                                    

Haloooooooooooo!

sebelum berbasa-basi seperti biasanya aku mau mengucapkan terimakasih atas comment, vote, dan dukungan kalian atas ceritaku ini hehe <3. dan aku juga minta maaf kalau mungkin aja chapter sebelumnya kurang menarik atau kependekan :(.

Chapter ini akan menceritakan tentang Nintya dan Valdo seusai makan malem itu. panjang atau nggaknya Chapter ini aku nggak begitu tau, soalnya pas masih di word, keliatan cukup panjang dan suka beda sama ukuran disini.

sekali lagi makasi atas dukungan kalian, dan aku menunggu untuk vote dan comment untuk chapter ini :). selamat membaca readers

xoxo,

Kyra110393

ps: selamat hari lebaran bagi yang merayakannya!!!


************************************************************************************************************


Nintya POV:

Yang benar saja dengan apa yang mereka katakan. Aku dan si brengsek Valdo harus menikah minggu depan? Memang mereka merencanakan untuk menikahkanku secara sederhana, dan baru dirayakan secara besar-besaran kalau aku sudah menginjak usia 22 tahun (hah, kaya bakalan aku dan dia menikah sampai umurku 22 tahun saja). Tapi tetap saja, aku belum mengenalnya dengan baik, dan sebelum mengenalnyapun aku sudah tau kalau dia lelaki yang brengsek, jadi bagaimana bisa aku dan dia akan resmi menjadi suami istri dalam seminggu? Aku tahu pernikahanku dipercepat karena mama akan pergi keluar negeri setelah pernikahanku (mama akan menaiki pesawat jam 8 malam) jadi pernikahan ini memang dinilai sangat mendadak. Tetapi jika melihat ekspresi dari Valdo yang selama makan malam ini hanya diam, dan bertindak cool (walau dia sempat kaget ketika ia melihatku untuk pertamakalinya, hal ini membuktikan Valdo masih mengingat kejadian dua hari yang lalu), apa jangan-jangan diam-diam dia menyutujui pernikahan konyol ini?

Saat ini aku sedang berada didalam mobil Valdo dan hanya berdua dengannya. Mamaku dan kedua orangtuanya berinisiatif agar Valdo mengatarku pulang dan mengajakku untuk ‘jalan-jalan’ terlebih dahulu sebelum aku pulang. Mereka mengatakan bahwa dengan begini, aku dan Valdo akan cepat mendekatkan diri. Dan usaha mereka sepertinya sia-sia, melihat aku dan Valdo tidak membicarakan apapun selama kami berada di mobil. Aku sendiri tidak berniat untuk memulai topik dengannya terlebih lagi aku masih kesal dengan apa yang dia perbuat dan dia katakan kepadaku dua hari yang lalu.

Valdo tiba-tiba menepikan mobilnya. Aku melihat keluar jendela mobil, jalanan tidak begitu ramai dan aku tidak tahu dimana aku sekarang berada. Aku menoleh kearah Valdo dan menatapnya dengan panik, apa maksudnya ini? Apa ia ingin berbuat macam-macam kepadaku? Melihat aku yang tampak panik dan ketakutan Valdo menatapku dengan dingin, “Cih, aku nggak nafsu sama cewe kaya kau, jadi jangan berpikiran aku bakal ngapa-ngapain,” suaranya sangat dingin dan tersirat nada ketidaksukaan kepadaku.

Ada perasaan lega melanda, tetapi tetap saja aku tidak suka ketika ia bekata ‘cewe seperti kamu’. Kata-kata tersebut seperti semakin menegaskan bahwa aku dibawah standar. “Terus ngapain kamu berenti ditengah jalan kaya gini? Mana jalanan nggak terlalu ramai, boleh dong aku khawatir apalagi aku kan cewe!” dengusku kesal.

“Lebih baik kita setujui saja pernikahan ini," Valdo menatapku dingin, "setelah itu aku ceraikan kau. lagipula aku tidak suka dan tidak mau bersama dengan istri yang kerjaannya cuma menangis dan menangis. bikin penat kepala saja!"

Aku menatapnya dengan sinis. menikah? dengannya? lalu bercerai? lalu aku menjadi janda? hah tidak bisa! "Aku tidak akan mau menikah denganmu! menikah dengan laki-laki yang hatinya lebih keras dibandingkan batu! dan lagi pula, menjadi janda pada usia SMA? maaf-maaf saja aku nggak sudi!" kataku dengan berteriak, “lagipula emang kamu pikir aku sama seperti cewe-cewe kemayu yang kerjaannya cuma menangis hah!”. Belum menikah dengannya saja sudah membuatku naik darah apalagi kalau sudah menikahinya, bisa-bisa aku kena penyakit stroke.

“Bisa nggak sih nggak teriak?” suara Valdo ikut meninggi dan bukan hanya kepalanya yang menghadapku sekarang badannya juga ikut menghadapku. Jarak antara aku dan dirinya tidak terlalu jauh sehingga aku dapat mencium wangi parfumenya. Wangi parfumnya sangat pas menggambarkan kepribadiannya yang dingin dan angkuh.

Aku menghembuskan nafas untuk menenangkan diriku. Valdo benar tidak seharusnya aku berteriak karena berteriak tidak akan menyelesaikan masalah. “Tapi aku tetap tidak akan sudi menerima pernikahan konyol ini,”

“Kalau begitu selamat berusaha,” kata Valdo sambil tersenyum setengah yang menunjukkan suatu kelicikan. Aku tidak mengerti dengan tingkah laku lelaki ini, apa ia ingin mempermainkan aku?

“Apa maksudmu?”

“Aku tidak mungkin membantah apa yang dikatakan orangtuaku karena jika mereka memutuskan suatu hal mereka tidak akan merubahnya. Jadi sampai kapanpun aku menolak, dan sebesar apapun aku mencoba, tetap saja itu semua akan sia-sia,”

Aku menelaah apa yang dikatakan Valdo. Sama dengan dirinya, apa yang diinginkan oleh mamanya, dan apabila mamanya sudah memutuskan hal tersebut pasti akan sangat sulit untuk merubahnya. Itu bagai mengharapkan sesuatu yang sudah tau tidak akan terjadi. Jadi apakah menyetujui pernikahan ini hal yang terbaik? Lagipula aku bisa tinggal dirumahku dan dia bisa tinggal dirumahnya. Orang tua kita berdua sama-sama orang tua yang sibuk sehingga mereka tidak akan tahu kalau kami berdua tidak tinggal satu rumah. Sepertinya memang inilah jalan satu-satunya yang terbaik untuk kami berdua.

“Oke baiklah kita setujui saja pernikahan ini,” kataku dengan sedikit tidak ikhlas. Sebenarnya bukan tidak sedikit tetapi sangat tidak ikhlas untuk menyetujui hal seperti ini.

“Kita akan bercerai setelah orangtuamu balik ke Indonesia,”

“Berarti satu tahun lagi?” tanyaku memandangnya heran sambil membayangkan satu tahun yang akan dilalui dengan penuh siksaan.

“Aku tidak tahu kapan orang tuamu kembali,” katanya cuek, pandangannya sudah tidak lagi mengahadapku tetapi melihat kearah jalanan yang ada didepan.

“Iya satu tahun lagi!” dengusku kesal, “kenapa sih kita harus menunggu selama satu tahun?”

“Kamu pikir bercerai itu mudah? Apalagi posisinya orangtuamu masih berada diluar negeri, mereka pasti akan berkata bahwa aku dan kamu sebaiknya tidak bercerai,”

Benar juga apa yang dikatakan oleh lelaki ini. Kata-katanya seperti sudah ia pikirkan matang-matang, padahal dia juga baru tahu bahwa mamaku mau pergi dinas. Hal tersebut dapat terlihat bahwa Valdo bukanlah sesosok lelaki yang hanya memikirkan popularitas dan penampilan tetapi lelaki yang juga ada otaknya. Kalau saja sifatnya tidak sejelek ini, kalau saja dia bersikap manis, dengan bermodalkan pintar dan wajah yang tampan, mungkin aku sudah jatuh cinta kepadanya, karena aku menyukai lelaki yang cerdas dan pintar. Menyukai bukan mencintai. “Oke, kalau begitu kamu bisa tetap tinggal dirumahmu dan aku tinggal dirumahku,”

“Bukan ide yang buruk, lagipula mereka tidak akan menyadarinya,” Valdo menatapku, tetapi tatapannya tidak sedingin tatapannya sebelumnya, “Tapi aku mau kau tidak membocorkan masalah pernikahan ini kepada teman-temanmu.” Ia berhenti sejenak dan kemudian berkata lagi, “Well, itupun kalau kamu mempunyai teman.”

Aku menatapnya tak percaya. Kata siapa aku tidak mempunyai teman? Memang temanku tidak sebanyak teman-temannya, tetapi temanku tidak bermuka dua seperti kebanyakan manusia-manusia eksis. “Aku punya teman! Jangan remehkan aku! Dan tenang saja aku juga tidak sudi untuk membeberkan masalah ini ke temanku!”

Valdo tidak menggubris kata-kataku dan mulai menjalankan mobilnya. Dan acara ‘jalan-jalan sebentar sebelum pulang’ pun berakhir dengan berjalannya mobil Valdo. Aku menghela nafas berat. Baguslah lebih baik kita pulang sekarang dibandingkan nanti yang bisa saja menimbulkan keributan dan saling bunuh-bunuhan satu sama lain.

Marrying Mr. ArrogantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang